Fanfiction SEAL Online (Heart of Sword) Chapter 10: Janji Masa Lalu
Home »
Fanfiction SEAL Online
,
seal online
,
Serba-serbi
» Fanfiction SEAL Online (Heart of Sword) Chapter 10: Janji Masa Lalu
Cerita ini di adaptasi dari Seal Online yang berlatar belakang dunia Shiltz.
Chapter 10: Janji Masa Lalu
“Kakak! Kakak!”
Aku berlari melintasi para bale labu yang menari dengan riang. Lentera-lentera kuning di tangan
mereka yang panjang dan lentur berpendar lemah, membantuku melihat lebih jelas sisi-sisi tajam
batu-batu karang Goa Crude. Tawa canda mereka yang memenuhi langit-langit goa terdengar di telingaku
seperti ejekan dan sindiran lantaran karena aku tersesat.
“Kakak, dimana kamu, Kak? Kakak!” teriakku parau.
“Kana! Kana! Aku disini!” sahut Halvar, meraih tanganku, “Kana! Kau tidak apa-apa? Apa kau terluka?”
Aku menggeleng.
“Tidak apa-apa bagaimana? Lihat luka-luka di sikutmu ini! Apa yang kau lakukan? Kenapa kau tiba-tiba
menghilang?” cerocosnya panik.
“Aku dikepung oleh sekumpulan Dancing Pumpkin. Aku terpaksa berhenti untuk melawannya. Aku tidak
bisa lewat, Kak. Aku tidak bisa melihatmu. Aku takut tersesat,” jelasku.
Lelaki itu mendengus, “Aku tidak menyuruhmu untuk berhenti! Kau tahu sendiri bahwa bale labu busuk
itu tidak lagi berbahaya untukmu, Kana! Kau bukanlah lagi lawan yang sepantasnya untuk mereka. Untuk
apa kamu berhenti? Mengapa tidak kau terjang saja mereka? Setelah kau terjang toh kamu bisa
melihatku lagi kan?”
“Tapi aku…”
Kedua alis Halvar berkedut ke atas, menyambung menjadi satu garis yang tebal. Ia sangat
mengkhawatirkanku. Aku membuka mulutku tetapi kata-kata yang ingin aku ucapkan tidak dapat keluar,
tersangkut di leherku. Aku tidak berani menyelesaikan kalimatku.
“Aku sudah mengingatkanmu untuk mengikutiku tetapi kau tidak mendengarkan!“ bentaknya, “Tidak peduli
bahwa di depanmu ada seekor kelinci yang membawa parang atau seekor domba yang memukulimu dengan
tongkat bambunya, kalau aku memintamu tetap di dekatku maka kau harus mematuhinya. Kau mengerti?”
Tetesan air mata yang sedari tadi kutahan membasahi baju Mercyku. Aku berusaha menutupi butiran-
butiran yang jatuh dari sudut mataku dengan tanganku yang mungil.
“Maafkan aku,” isakku, menangis sesenggukan.
“Untung saja aku menemukanmu. Bagaimana jika tidak? Apa yang nanti akan dikatakan oleh ayah dan ibu?
Lagi-lagi mereka akan menyalahkanku karena tindakan cerobohmu itu,”
Aku tercekat. Aku menggosok-gosok mata merahku yang berair. Raut muka knight yang keras itu mulai
mengendur.
Halvar mendekapku ke dalam pelukannya, “Kau ini orang yang sangat mudah terpecah perhatiannya, Kana.
Jika ada sesuatu yang menarik perhatianmu sedikit saja, kau akan langsung bereaksi tanpa berpikir
panjang terlebih dahulu. Berjanjilah kau harus tetap mendengarkan permintaan dan petunjuk orang-
orang di sekitarmu. Pasanglah telingamu dan mantapkan hati. Aku tidak mau kau tersesat untuk yang
kedua kalinya gara-gara kecerobohanmu. Berjanjilah untukku. Aku tidak mau kehilangan dirimu untuk
yang kedua kalinya. Mengerti?”
Aku mengangguk, “Iya, Kak.”
“Berjanjilah, Kana. Katakan ‘Aku janji’, jangan hanya berkata ‘iya’ saja,” pintanya lagi.
“Aku janji. Aku akan menepatinya,” yakinku.
“Bagaimana jika kau tidak menepatinya?”
“Hmm…”
“Bagaimana jika aku akan menyerah untuk menjagamu dan meminta orang lain untuk melindungimu?”
Aku menyusupkan kepalaku ke dadanya, “Tidak! Aku tidak mau!”
Halvar tersenyum lega. Ia mencium keningku dengan rasa penuh kasih sayang, “Aku tahu kamu akan
menepati janjimu.”
Ya, tentu saja aku akan menepatinya. Aku tidak akan mengecewakannya. Tidak akan.
Tidak. Aku melanggar janjiku.
Aku melanggarnya.
Aku membuka mataku. Kegelapan menerobos paksa memasuki kedua indra penglihatanku. Gelap. Nafasku
tersengal-sengal. Aku mengunjukkan tanganku ke atas. Cahaya. Aku butuh cahaya. Dimana lampu? Aku
menggapai-gapai putus asa. Tidak ada lampu! Apa yang kulakukan? Dimana aku? Bagaimana aku bisa
disini?
Aku memejamkan mataku kembali, mencoba menjernihkan pikiranku yang kalut. Ah! Aku ingat. Aku
tersesat di dalam Tambang Tertutup dan aku memutuskan untuk tidur disini. Aku mengerang. Rasa sakit
kurasakan di sekujur tubuhku yang lemah. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Bah! Bodoh! Buat apa
menoleh? Membuang-buang tenaga saja, toh aku tetap saja tidak bisa apa-apa melihat dalam kegelapan
ini.
Aku menggeliat dan bangkit dari dudukku, merangkak keluar dari ceruk yang kutemukan beberapa jam
yang lalu. Celah itu cukup lebar dan cukup dalam sehingga para bale dapat tidak menganggu waktu
istirahatku. Sungguh beruntung aku menemukan tempat ini. Aku tidak tahu sampai kapan aku tersesat
disini. Bagaimana nasibku selanjutnya? Dimana aku akan tidur? Ataukah aku harus menunggu sampai yang
lain menyelamatkanku disini?
Aku mendesah. Rasa haus yang menggerogoti kerongkonganku mengacaukan otakku. Aku butuh air. Tidak.
Pertama-tama, aku harus mencari cahaya terlebih dahulu. Aku mengacungkan gada unguku, bersiap untuk
melontarkan sihir. Bodoh! Aku lupa persediaan potionku kan sudah habis. Aku harus menghemat kekuatan
sihir manaku jika ingin tetap selamat.
Aku mengumpat. Kukepalkan jari-jariku dan memukulkannya ke dinding-dinding goa. Aduh! Sakit! Aku
mengibaskan tanganku. Aku merintih, menyesali ketidaksabaranku. Tiba-tiba ada secercah cahaya jingga
yang muncul dari lorong goa. Kilatan itu bergerak sangat cepat. Sepertinya cahaya ini tidak asing
untukku. Cahaya ini berasal dari sihir Phoenix milik seorang penyihir. Berarti ada orang disini!
Aku mendengar seseorang merapalkan serentetan mantra yang disertai oleh bunyi-bunyian yang
*****akkan telinga. Memang benar. Kali ini aku tidak mungkin salah. Pasti ada seorang magician
disana! Aku terus berjalan tertatih-tatih. Luka-lukaku sisa pertarunganku sebelumnya yang semula
sudah mulai mengering, kini menganga kembali. Aku dapat merasakan darah menetes perlahan seakan-akan
menikmati perjalanan merambat turun dari betisku. Aduh! Luka ini sialan sekali. Ah! Masa bodoh
dengan kakiku. Hal yang terpenting sekarang adalah menemukan jalan keluar. Aku bisa menyembuhkan
lukaku dalam sekejab jika aku sudah keluar nanti.
Aku memanjat sebuah tanjakan dan mendapati sebuah kamar bundar yang terbuat dari batu. Sisa-sisa rel
kereta penambang tergolek tidak berdaya di sisi-sisi dinding. Bayangan sesesok lelaki terpantulkan
dari cahaya tarian naga yang menjulang keatas. Hawa panas api membara menyebar ke permukaan. Para
Bale yang mendiami ruangan itu lumat seketika. Siluet itu bergerak mengayunkan tongkat dengan
anggunnya. Alunan nyanyian khas para penyihir bergema di sekelilingnya.
“Hei, kau!” panggilku, menghampirinya.
Laki-laki itu menghentikan sihirnya, “Oh! Astaga, kau mengagetkanku! Hai, orang asing! Tampaknya kau
tersesat?”
Aku tidak mengacuhkannya. Aku menghempaskan tubuhku ke dinding terdekat dan memijat kakiku lalu
terkesiap. Aku mendongak ke arahnya, mengamatinya. Ia sangat rupawan. Potongan wajahnya terlalu
sempurna, tanpa cacat sedikit pun. Baju ungunya melekat sangat pas dengan postur tubuhnya yang
tinggi dan tegap. Jantungku berdetak tidak karuan.
Ia mengulangi pertanyaannya, “Apa kau tersesat?”
Aku menampar pelan pipiku. Aw! Berhentilah menghayal, Kana!
“Air,” gumamku tidak jelas.
“Apa?”
Aku mencengkeram ujung celana ungunya yang berbordir untaian benang sutra perak, “Aku butuh air!
Atau apa saja!”
“Oh!”
Pria itu merogoh kantongnya dan mengeluarkan sebotol vodka yang kemudian kusambar dengan kecepatan
yang luar biasa. Aku langsung meneguknya habis. Ia memperhatikanku diam-diam. Aku tersipu.
“Ah! Syukurlah. Akhirnya aku bertemu dengan seseorang yang bisa kuajak berbicara,” aku mengakui
tanpa malu-malu, “Ya. Aku terpisah dari rombonganku.”
“Hmm, bagaimana bisa? Dimana terakhir kali kau sadar kalau kau terpisah?”
Suaranya yang lembut menenangkanku. Perasaan kalutku seperti tersapu habis olehnya. Aduh, Kana!
Tetap fokus!
“Aku ditinggalkan di depan pintu tambang gara-gara mayat hidup dan raksasa sialan itu,” gerutuku.
Ia berjongkok di sampingku, “Tega sekali mereka meninggalkanmu disaat kau sedang sibuk membela
dirimu. Mengapa mereka tidak membantumu atau menunggumu?”
Aku bergeser sedikit kesamping. Sial! Lelaki ini sungguh sialan. Bergeserlah kau sedikit! Kenapa aku
tidak bisa berkonsentrasi jika dia di sebelahku?
“Sebenarnya mereka sudah berjalan jauh di depanku. Jadi sepertinya mereka tidak mendengarku. Kau
sendiri sedang apa disini? Berburu?” aku menyipitkan mataku, mengamati tongkat putih dengan bola
jingga kemilauan di ujungnya yang dipegangnya, “Bukankah kau seharusnya berburu di tempat lain?
Bukan di tempat seperti ini?”
Ia menggaruk-garuk kepalanya, “Yah. Sebenarnya aku bekerja disini.”
“Bekerja?”
“Aku mengumpulkan barang-barang sesuai permintaan pembeli untuk dijual di pasar seperti bone atau
eye ball. Ya, semacam pedagang, tapi aku bukan pedagang,” terangnya.
Aku melambaikan tanganku, meremehkan, “Tapi bagaimana kau bisa masuk dan keluar dengan bebas seperti
itu? Ini kan tambang yang sudah tidak dibuka lagi oleh umum.”
Ia menyunggingkan sebuah senyuman yang sangat menawan, “Yah, kalau kau punya koneksi, semuanya
menjadi mudah. Aku punya teman yang bisa kupercaya.”
Aku merasakan sebuah sensasi menggelegak di dalam diriku yang kemudian membuncah keluar. Ia tertawa
renyah. Mukaku bersemu merah. Oh, Hesed yang penuh kasih, bagaimana caranya dia bisa mengeluarkan
senyuman seperti itu?
“Kita belum berkenalan bukan?” ia menjulurkan tangannya padaku, “Namaku Aeron. Aeron Trahaearn.”
Aku menjabatnya dengan tanganku yang berkeringat, “Aku Ka… Kana. Errr… Kana Shevaunt. Senang
berkenalan denganmu, Aeron.”
“Aku juga senang, Kana. Bagaimana jika aku mengantarmu sampai ke gerbang pintu keluar?” tawarnya.
“Tidak perlu. Tunjukkan saja kemana arah yang benar. Aku tidak ingin mengganggu waktu bekerjamu. Aku
sudah meminta paksa vodkamu tadi dan aku tidak mau merepotkanmu lagi,” tolakku, berusaha terlihat
sopan. Rona merah masih tertinggal di wajahku.
Ia kembali mempertontonkan senyumnya, salah satu jurus keahliannya yang memikatku, “Apa kau yakin?
Hari sudah semakin gelap, Kana. Tinggal beberapa jam saja waktu yang tersisa untuk mengejar
terbukanya pintu gerbang tersebut. Aku tidak keberatan jika gadis sepertimu merepotkanku.”
“Hmm… Bagaimana ya…” timbangku dengan pikiranku yang sedang tidak bisa berkompromi,
“Aku akan menggendongmu jika kau mau,”
“Ap… Apa!!!”
“Lihatlah kakimu! Kau tidak bisa berjalan jauh dengan kaki yang seperti itu,”
“Aku bisa!”
“Coba saja!” tantangnya.
Mukaku merah padam. Aku sekonyong-konyong mencoba untuk berdiri. Darah dari otakku mengalir deras ke
bawah. Rasa pusing tiba-tiba menyerangku dan tubuhku terhuyung ke samping.
“Ugh!” rintihku.
Aeron menumpu tubuhku dengan tangannya yang kokoh. Ia terkekeh geli, “Sudah kubilang bukan? Kau
tidak percaya padaku. Kita harus mengejar waktu. Jika kau ngotot untuk tetap berjalan sendiri,
mungkin kita akan bisa keluar dari sini setelah dua hari.”
“Kau akan berjalan semakin lambat jika kau menggendongku, Aeron. Sadarlah bahwa mage itu berjalan
lambat seperti keong,” balasku tidak mau kalah.
Aeron mengedipkan sebelah matanya, “Tidak jika kau membantuku dengan skill Wind Rushmu.”
Aku menyerah, “Baiklah. Terserah apa katamu. Wind Rush!”
Lingkaran merah muda menyala berputar di bawah kakinya. Aeron berjongkok di depanku lalu aku menaiki
punggungnya. Hangat. Aku merangkul lehernya. Dari rambutnya yang ikal keabu-abuan tercium aroma
shampoo cactus flower yang manis. Aku menahan tawa. Dia memakai shampoo perempuan! Hahaha. Ingatkan
aku untuk mengejeknya nanti.
Pria dengan baju Justice itu mengangkat badanku dengan lembut, “Kau siap, Kana?”
Aku mengiakan tanda setuju, “Aku siap.”
Aeron berlari secepat yang ia bisa. Bayangan-bayangan dinding berkelebat di mataku, membuatku
mengantuk. Aku mengusir rasa penatku dengan menghitung monster yang mencoba merintangi kami. Skullo.
Ogre. Dinding. Ogre. Ogre. Skullo. Dinding. Lentera. Pria dengan baju zirah merah. Ogre. Skullo.
Skullo. Apa? Pria berbaju merah??
Aku memukul pundak Aeron, “Tunggu! Aeron! Berhenti!”
“Ada apa?” sahutnya terus berlari.
“Berhenti kataku!”
Aeron menurunkanku sambil bertanya-tanya, “Ada apa, Kana?”
“Sepertinya aku melihat kakakku,” jawabku singkat. Aku melongokkan kepalaku ke arah belokan tempat
aku melihatnya terakhir kali.
“Kakakmu?”
“Ya,”
“Kau mungkin salah lihat, Kana. Tidak ada orang disini,”
“Begitu ya? Ya, mungkin. Aku mungkin terlalu lelah,”
“Ayo, pintu keluar sudah dekat. Efek Wind Rush ini semakin memudar saja. Kita tidak punya waktu
banyak lagi,” desaknya, menggandeng tanganku, “Ayo, naik ke punggungku lagi.”
Aku menuruti kemauannya dengan patuh. Kami berlari sekali lagi melintasi para monster penghuni
Tambang Tertutup, mengejar pintu gerbang yang akan segera menutup.
“Kau yakin tidak melihat apa yang kulihat, Aeron?” tanyaku bimbang.
“Ya. Aku sama sekali tidak melihat cahaya lentera atau seorang pria kok,”
Aku terperanjat, “Eh… tapi aku kan belum menyebutkan aku melihat lentera. Aku juga tidak menyebutkan
bahwa kakakku seorang laki-laki.”
“Eh, masa? Emm… Kau sudah menyebutkannya tadi. Mungkin kau lupa. Kau tampak sangat lelah, Kana,”
elaknya.
“Begitu ya? Ya, mungkin. Aku memang terlalu lelah. Sangat lelah,”
___________________
Di suatu sisi yang lain, seorang lelaki yang mengenakan baju Ultimate merah yang berusaha
disamarkannya mengintip dari sudut tikungan terdekat.
“Kau melanggar janjimu, Kana,” bisiknya, mematikan lentera yang digantung di lengannya kemudian
melesat menjauh masuk ke dalam kegelapan tambang yang tidak pernah bisa dibuka lagi.
Seal Online Fanfiction by milkteddy © 2009
Fanfiction Heart of Sword SUMBER
.
Chapter 10: Janji Masa Lalu
“Kakak! Kakak!”
Aku berlari melintasi para bale labu yang menari dengan riang. Lentera-lentera kuning di tangan
mereka yang panjang dan lentur berpendar lemah, membantuku melihat lebih jelas sisi-sisi tajam
batu-batu karang Goa Crude. Tawa canda mereka yang memenuhi langit-langit goa terdengar di telingaku
seperti ejekan dan sindiran lantaran karena aku tersesat.
“Kakak, dimana kamu, Kak? Kakak!” teriakku parau.
“Kana! Kana! Aku disini!” sahut Halvar, meraih tanganku, “Kana! Kau tidak apa-apa? Apa kau terluka?”
Aku menggeleng.
“Tidak apa-apa bagaimana? Lihat luka-luka di sikutmu ini! Apa yang kau lakukan? Kenapa kau tiba-tiba
menghilang?” cerocosnya panik.
“Aku dikepung oleh sekumpulan Dancing Pumpkin. Aku terpaksa berhenti untuk melawannya. Aku tidak
bisa lewat, Kak. Aku tidak bisa melihatmu. Aku takut tersesat,” jelasku.
Lelaki itu mendengus, “Aku tidak menyuruhmu untuk berhenti! Kau tahu sendiri bahwa bale labu busuk
itu tidak lagi berbahaya untukmu, Kana! Kau bukanlah lagi lawan yang sepantasnya untuk mereka. Untuk
apa kamu berhenti? Mengapa tidak kau terjang saja mereka? Setelah kau terjang toh kamu bisa
melihatku lagi kan?”
“Tapi aku…”
Kedua alis Halvar berkedut ke atas, menyambung menjadi satu garis yang tebal. Ia sangat
mengkhawatirkanku. Aku membuka mulutku tetapi kata-kata yang ingin aku ucapkan tidak dapat keluar,
tersangkut di leherku. Aku tidak berani menyelesaikan kalimatku.
“Aku sudah mengingatkanmu untuk mengikutiku tetapi kau tidak mendengarkan!“ bentaknya, “Tidak peduli
bahwa di depanmu ada seekor kelinci yang membawa parang atau seekor domba yang memukulimu dengan
tongkat bambunya, kalau aku memintamu tetap di dekatku maka kau harus mematuhinya. Kau mengerti?”
Tetesan air mata yang sedari tadi kutahan membasahi baju Mercyku. Aku berusaha menutupi butiran-
butiran yang jatuh dari sudut mataku dengan tanganku yang mungil.
“Maafkan aku,” isakku, menangis sesenggukan.
“Untung saja aku menemukanmu. Bagaimana jika tidak? Apa yang nanti akan dikatakan oleh ayah dan ibu?
Lagi-lagi mereka akan menyalahkanku karena tindakan cerobohmu itu,”
Aku tercekat. Aku menggosok-gosok mata merahku yang berair. Raut muka knight yang keras itu mulai
mengendur.
Halvar mendekapku ke dalam pelukannya, “Kau ini orang yang sangat mudah terpecah perhatiannya, Kana.
Jika ada sesuatu yang menarik perhatianmu sedikit saja, kau akan langsung bereaksi tanpa berpikir
panjang terlebih dahulu. Berjanjilah kau harus tetap mendengarkan permintaan dan petunjuk orang-
orang di sekitarmu. Pasanglah telingamu dan mantapkan hati. Aku tidak mau kau tersesat untuk yang
kedua kalinya gara-gara kecerobohanmu. Berjanjilah untukku. Aku tidak mau kehilangan dirimu untuk
yang kedua kalinya. Mengerti?”
Aku mengangguk, “Iya, Kak.”
“Berjanjilah, Kana. Katakan ‘Aku janji’, jangan hanya berkata ‘iya’ saja,” pintanya lagi.
“Aku janji. Aku akan menepatinya,” yakinku.
“Bagaimana jika kau tidak menepatinya?”
“Hmm…”
“Bagaimana jika aku akan menyerah untuk menjagamu dan meminta orang lain untuk melindungimu?”
Aku menyusupkan kepalaku ke dadanya, “Tidak! Aku tidak mau!”
Halvar tersenyum lega. Ia mencium keningku dengan rasa penuh kasih sayang, “Aku tahu kamu akan
menepati janjimu.”
Ya, tentu saja aku akan menepatinya. Aku tidak akan mengecewakannya. Tidak akan.
Tidak. Aku melanggar janjiku.
Aku melanggarnya.
Aku membuka mataku. Kegelapan menerobos paksa memasuki kedua indra penglihatanku. Gelap. Nafasku
tersengal-sengal. Aku mengunjukkan tanganku ke atas. Cahaya. Aku butuh cahaya. Dimana lampu? Aku
menggapai-gapai putus asa. Tidak ada lampu! Apa yang kulakukan? Dimana aku? Bagaimana aku bisa
disini?
Aku memejamkan mataku kembali, mencoba menjernihkan pikiranku yang kalut. Ah! Aku ingat. Aku
tersesat di dalam Tambang Tertutup dan aku memutuskan untuk tidur disini. Aku mengerang. Rasa sakit
kurasakan di sekujur tubuhku yang lemah. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Bah! Bodoh! Buat apa
menoleh? Membuang-buang tenaga saja, toh aku tetap saja tidak bisa apa-apa melihat dalam kegelapan
ini.
Aku menggeliat dan bangkit dari dudukku, merangkak keluar dari ceruk yang kutemukan beberapa jam
yang lalu. Celah itu cukup lebar dan cukup dalam sehingga para bale dapat tidak menganggu waktu
istirahatku. Sungguh beruntung aku menemukan tempat ini. Aku tidak tahu sampai kapan aku tersesat
disini. Bagaimana nasibku selanjutnya? Dimana aku akan tidur? Ataukah aku harus menunggu sampai yang
lain menyelamatkanku disini?
Aku mendesah. Rasa haus yang menggerogoti kerongkonganku mengacaukan otakku. Aku butuh air. Tidak.
Pertama-tama, aku harus mencari cahaya terlebih dahulu. Aku mengacungkan gada unguku, bersiap untuk
melontarkan sihir. Bodoh! Aku lupa persediaan potionku kan sudah habis. Aku harus menghemat kekuatan
sihir manaku jika ingin tetap selamat.
Aku mengumpat. Kukepalkan jari-jariku dan memukulkannya ke dinding-dinding goa. Aduh! Sakit! Aku
mengibaskan tanganku. Aku merintih, menyesali ketidaksabaranku. Tiba-tiba ada secercah cahaya jingga
yang muncul dari lorong goa. Kilatan itu bergerak sangat cepat. Sepertinya cahaya ini tidak asing
untukku. Cahaya ini berasal dari sihir Phoenix milik seorang penyihir. Berarti ada orang disini!
Aku mendengar seseorang merapalkan serentetan mantra yang disertai oleh bunyi-bunyian yang
*****akkan telinga. Memang benar. Kali ini aku tidak mungkin salah. Pasti ada seorang magician
disana! Aku terus berjalan tertatih-tatih. Luka-lukaku sisa pertarunganku sebelumnya yang semula
sudah mulai mengering, kini menganga kembali. Aku dapat merasakan darah menetes perlahan seakan-akan
menikmati perjalanan merambat turun dari betisku. Aduh! Luka ini sialan sekali. Ah! Masa bodoh
dengan kakiku. Hal yang terpenting sekarang adalah menemukan jalan keluar. Aku bisa menyembuhkan
lukaku dalam sekejab jika aku sudah keluar nanti.
Aku memanjat sebuah tanjakan dan mendapati sebuah kamar bundar yang terbuat dari batu. Sisa-sisa rel
kereta penambang tergolek tidak berdaya di sisi-sisi dinding. Bayangan sesesok lelaki terpantulkan
dari cahaya tarian naga yang menjulang keatas. Hawa panas api membara menyebar ke permukaan. Para
Bale yang mendiami ruangan itu lumat seketika. Siluet itu bergerak mengayunkan tongkat dengan
anggunnya. Alunan nyanyian khas para penyihir bergema di sekelilingnya.
“Hei, kau!” panggilku, menghampirinya.
Laki-laki itu menghentikan sihirnya, “Oh! Astaga, kau mengagetkanku! Hai, orang asing! Tampaknya kau
tersesat?”
Aku tidak mengacuhkannya. Aku menghempaskan tubuhku ke dinding terdekat dan memijat kakiku lalu
terkesiap. Aku mendongak ke arahnya, mengamatinya. Ia sangat rupawan. Potongan wajahnya terlalu
sempurna, tanpa cacat sedikit pun. Baju ungunya melekat sangat pas dengan postur tubuhnya yang
tinggi dan tegap. Jantungku berdetak tidak karuan.
Ia mengulangi pertanyaannya, “Apa kau tersesat?”
Aku menampar pelan pipiku. Aw! Berhentilah menghayal, Kana!
“Air,” gumamku tidak jelas.
“Apa?”
Aku mencengkeram ujung celana ungunya yang berbordir untaian benang sutra perak, “Aku butuh air!
Atau apa saja!”
“Oh!”
Pria itu merogoh kantongnya dan mengeluarkan sebotol vodka yang kemudian kusambar dengan kecepatan
yang luar biasa. Aku langsung meneguknya habis. Ia memperhatikanku diam-diam. Aku tersipu.
“Ah! Syukurlah. Akhirnya aku bertemu dengan seseorang yang bisa kuajak berbicara,” aku mengakui
tanpa malu-malu, “Ya. Aku terpisah dari rombonganku.”
“Hmm, bagaimana bisa? Dimana terakhir kali kau sadar kalau kau terpisah?”
Suaranya yang lembut menenangkanku. Perasaan kalutku seperti tersapu habis olehnya. Aduh, Kana!
Tetap fokus!
“Aku ditinggalkan di depan pintu tambang gara-gara mayat hidup dan raksasa sialan itu,” gerutuku.
Ia berjongkok di sampingku, “Tega sekali mereka meninggalkanmu disaat kau sedang sibuk membela
dirimu. Mengapa mereka tidak membantumu atau menunggumu?”
Aku bergeser sedikit kesamping. Sial! Lelaki ini sungguh sialan. Bergeserlah kau sedikit! Kenapa aku
tidak bisa berkonsentrasi jika dia di sebelahku?
“Sebenarnya mereka sudah berjalan jauh di depanku. Jadi sepertinya mereka tidak mendengarku. Kau
sendiri sedang apa disini? Berburu?” aku menyipitkan mataku, mengamati tongkat putih dengan bola
jingga kemilauan di ujungnya yang dipegangnya, “Bukankah kau seharusnya berburu di tempat lain?
Bukan di tempat seperti ini?”
Ia menggaruk-garuk kepalanya, “Yah. Sebenarnya aku bekerja disini.”
“Bekerja?”
“Aku mengumpulkan barang-barang sesuai permintaan pembeli untuk dijual di pasar seperti bone atau
eye ball. Ya, semacam pedagang, tapi aku bukan pedagang,” terangnya.
Aku melambaikan tanganku, meremehkan, “Tapi bagaimana kau bisa masuk dan keluar dengan bebas seperti
itu? Ini kan tambang yang sudah tidak dibuka lagi oleh umum.”
Ia menyunggingkan sebuah senyuman yang sangat menawan, “Yah, kalau kau punya koneksi, semuanya
menjadi mudah. Aku punya teman yang bisa kupercaya.”
Aku merasakan sebuah sensasi menggelegak di dalam diriku yang kemudian membuncah keluar. Ia tertawa
renyah. Mukaku bersemu merah. Oh, Hesed yang penuh kasih, bagaimana caranya dia bisa mengeluarkan
senyuman seperti itu?
“Kita belum berkenalan bukan?” ia menjulurkan tangannya padaku, “Namaku Aeron. Aeron Trahaearn.”
Aku menjabatnya dengan tanganku yang berkeringat, “Aku Ka… Kana. Errr… Kana Shevaunt. Senang
berkenalan denganmu, Aeron.”
“Aku juga senang, Kana. Bagaimana jika aku mengantarmu sampai ke gerbang pintu keluar?” tawarnya.
“Tidak perlu. Tunjukkan saja kemana arah yang benar. Aku tidak ingin mengganggu waktu bekerjamu. Aku
sudah meminta paksa vodkamu tadi dan aku tidak mau merepotkanmu lagi,” tolakku, berusaha terlihat
sopan. Rona merah masih tertinggal di wajahku.
Ia kembali mempertontonkan senyumnya, salah satu jurus keahliannya yang memikatku, “Apa kau yakin?
Hari sudah semakin gelap, Kana. Tinggal beberapa jam saja waktu yang tersisa untuk mengejar
terbukanya pintu gerbang tersebut. Aku tidak keberatan jika gadis sepertimu merepotkanku.”
“Hmm… Bagaimana ya…” timbangku dengan pikiranku yang sedang tidak bisa berkompromi,
“Aku akan menggendongmu jika kau mau,”
“Ap… Apa!!!”
“Lihatlah kakimu! Kau tidak bisa berjalan jauh dengan kaki yang seperti itu,”
“Aku bisa!”
“Coba saja!” tantangnya.
Mukaku merah padam. Aku sekonyong-konyong mencoba untuk berdiri. Darah dari otakku mengalir deras ke
bawah. Rasa pusing tiba-tiba menyerangku dan tubuhku terhuyung ke samping.
“Ugh!” rintihku.
Aeron menumpu tubuhku dengan tangannya yang kokoh. Ia terkekeh geli, “Sudah kubilang bukan? Kau
tidak percaya padaku. Kita harus mengejar waktu. Jika kau ngotot untuk tetap berjalan sendiri,
mungkin kita akan bisa keluar dari sini setelah dua hari.”
“Kau akan berjalan semakin lambat jika kau menggendongku, Aeron. Sadarlah bahwa mage itu berjalan
lambat seperti keong,” balasku tidak mau kalah.
Aeron mengedipkan sebelah matanya, “Tidak jika kau membantuku dengan skill Wind Rushmu.”
Aku menyerah, “Baiklah. Terserah apa katamu. Wind Rush!”
Lingkaran merah muda menyala berputar di bawah kakinya. Aeron berjongkok di depanku lalu aku menaiki
punggungnya. Hangat. Aku merangkul lehernya. Dari rambutnya yang ikal keabu-abuan tercium aroma
shampoo cactus flower yang manis. Aku menahan tawa. Dia memakai shampoo perempuan! Hahaha. Ingatkan
aku untuk mengejeknya nanti.
Pria dengan baju Justice itu mengangkat badanku dengan lembut, “Kau siap, Kana?”
Aku mengiakan tanda setuju, “Aku siap.”
Aeron berlari secepat yang ia bisa. Bayangan-bayangan dinding berkelebat di mataku, membuatku
mengantuk. Aku mengusir rasa penatku dengan menghitung monster yang mencoba merintangi kami. Skullo.
Ogre. Dinding. Ogre. Ogre. Skullo. Dinding. Lentera. Pria dengan baju zirah merah. Ogre. Skullo.
Skullo. Apa? Pria berbaju merah??
Aku memukul pundak Aeron, “Tunggu! Aeron! Berhenti!”
“Ada apa?” sahutnya terus berlari.
“Berhenti kataku!”
Aeron menurunkanku sambil bertanya-tanya, “Ada apa, Kana?”
“Sepertinya aku melihat kakakku,” jawabku singkat. Aku melongokkan kepalaku ke arah belokan tempat
aku melihatnya terakhir kali.
“Kakakmu?”
“Ya,”
“Kau mungkin salah lihat, Kana. Tidak ada orang disini,”
“Begitu ya? Ya, mungkin. Aku mungkin terlalu lelah,”
“Ayo, pintu keluar sudah dekat. Efek Wind Rush ini semakin memudar saja. Kita tidak punya waktu
banyak lagi,” desaknya, menggandeng tanganku, “Ayo, naik ke punggungku lagi.”
Aku menuruti kemauannya dengan patuh. Kami berlari sekali lagi melintasi para monster penghuni
Tambang Tertutup, mengejar pintu gerbang yang akan segera menutup.
“Kau yakin tidak melihat apa yang kulihat, Aeron?” tanyaku bimbang.
“Ya. Aku sama sekali tidak melihat cahaya lentera atau seorang pria kok,”
Aku terperanjat, “Eh… tapi aku kan belum menyebutkan aku melihat lentera. Aku juga tidak menyebutkan
bahwa kakakku seorang laki-laki.”
“Eh, masa? Emm… Kau sudah menyebutkannya tadi. Mungkin kau lupa. Kau tampak sangat lelah, Kana,”
elaknya.
“Begitu ya? Ya, mungkin. Aku memang terlalu lelah. Sangat lelah,”
___________________
Di suatu sisi yang lain, seorang lelaki yang mengenakan baju Ultimate merah yang berusaha
disamarkannya mengintip dari sudut tikungan terdekat.
“Kau melanggar janjimu, Kana,” bisiknya, mematikan lentera yang digantung di lengannya kemudian
melesat menjauh masuk ke dalam kegelapan tambang yang tidak pernah bisa dibuka lagi.
Seal Online Fanfiction by milkteddy © 2009
Fanfiction Heart of Sword SUMBER
0 komentar:
Posting Komentar