Fanfiction SEAL Online (Heart of Sword) Chapter 8: Tambang Tertutup
Home »
Fanfiction SEAL Online
,
seal online
,
Serba-serbi
» Fanfiction SEAL Online (Heart of Sword) Chapter 8: Tambang Tertutup
Cerita ini di adaptasi dari Seal Online yang berlatar belakang dunia Shiltz.
Chapter 8: Tambang Tertutup
“Apa? Tambang tertutup? Tidak mungkin. Kita tidak boleh masuk kesana,” gerutu Caleb seraya menunjuk
sebuah warp di depannya.
“Kenapa? Kau takut, Caleb?” canda Vyriel.
“Apa kau pernah kesana, Vyriel?” balas Caleb, mencemooh.
“Belum,” aku warrior itu malu-malu.
“Kalau begitu jangan mengejekku. Aku sudah pernah kesana dan aku tidak takut. Jalan keluar tambang
tertutup terbuka hanya satu kali saja setiap harinya,” jelasnya.
“Wow! Apakah Cane yang memintamu untuk menunggunya disana?”
Caleb mengiyakan, “Ya. Dan aku tidak akan terjebak dalam kebodohan yang sama seperti dulu. Aku tidak
percaya bahwa Halvar benar-benar berada disana. Aku yakin sekali bahwa Cane ingin mengerjai kita
seperti dia mengerjaiku dulu.”
“Mengapa kita tidak mencobanya?” tanyaku spontan.
“Mengapa? Karena menurutku kita hanya membuang-buang waktu saja. Mungkin kita akan tersesat disana
dan kita tidak tahu apakah hari telah gelap atau masih siang. Pintu itu hanya terbuka saat matahari
tenggelam. Hanya saat matahari tenggelam,” tekannya.
“Benar. Lagipula kita tidak tahu dimana Halvar sekarang. Apakah dia sudah menemukan jalan keluar
dari tambang tersebut, ataukah dia masih tersesat di dalamnya. Atau mungkin Halvar tidak kesana sama
sekali,” tambah Nora, mendukung Caleb.
Caleb tersenyum simpul, menyisir rambut coklatnya yang acak-acakan kebelakang. Raut mukanya
menyatakan bahwa ia senang tunangannya memihaknya.
“Menurutku itu patut dicoba. Kita harus mencoba peruntungan kita, Caleb. Kita harus mencoba berbagai
kemungkinan jika kita ingin menemukan Halvar,” kata Vyriel.
Caleb mundur beberapa langkah, bersandar pada pohon di belakangnya. Tangannya dilipat diatas dadanya
dan wajahnya ditekuk. Palu merah dengan ukiran apinya dijatuhkan begitu saja di tanah disampingnya.
Nora berpaling padaku, “Kana, kau yang paling mengerti tentang kakakmu. Disaat seperti ini, apa yang
akan dilakukan kakakmu, Kana, jika ia mendapat tantangan seperti ini?”
“Halvar sangat suka sekali pada tantangan atau taruhan. Aku yakin bahwa ia tidak melewatkannya,”
ceritaku.
Vyriel melonjak, “Berarti dia pergi ke tambang tertutup kalau begitu! Kita akan menyusulnya. Benar?”
Nora mengalihkan matanya dariku kearah Caleb. Mata mereka bertemu dan craftsman itu menggangguk
pasrah.
“Jika memang benar begitu, kita harus mempersiapkan bekal yang sangat banyak,” saran Caleb.
“Kau melebih-lebihkan, Caleb. Kita dengan mudah dapat membunuh para monster di tambang itu,” kekeh
Vyriel.
“Jangan sombong, Vyriel!” aku menyikut rusuknya, ”Seberapa banyak monster yang ada disana, Caleb?”
Caleb mendesah, “Banyak. Sangat banyak. Biarpun kita dapat membunuh mereka dengan mudah, kita tidak
tahu kapan kita akan keluar. Dan kita tidak tahu kapan persediaan bekal kita akan habis.”
“Berapa lama kau berada disana?” tanyaku lagi, penasaran.
“Dua minggu,”
“Tapi itu kan waktu kau masih sangat muda, Caleb, tidak seperti sekarang,” timpal Vyriel,
membusungkan dadanya. Sisik-sisik emas dibajunya berkilauan tertimpa cahaya matahari senja.
“Ya, memang benar. Aku masih sangat muda,” gumamnya tidak jelas.
Aku berpikir sejenak, “Mengapa kau tidak menggunakan scroll saja, Caleb?”
Caleb terbata-bata, “A… Aku… Aku tidak sengaja menjatuhkan cadangan scrollku ketika aku berlari dari
para bale.”
Vyriel mendengus keras sekali, “Sudah kubilang kau hanya melebih-lebihkan, Caleb.”
“Biarpun kita bisa menggunakan scroll,” Caleb mendecak, “Bagaimana jika Halvar menunggu di seberang
sisi yang lain? Intinya kita juga tetap harus menemukan jalan keluarnya kalau begitu.”
Aku terperangah, “Memangnya ada berapa sisi tambang?”
“Sudah, jangan menggoda Caleb terus! Kana sudah memutuskan untuk pergi kesana dan kita
menyetujuinya, maka kita akan masuk,” sahut Nora, menengahi, “Aku sudah membeli beberapa botol
potion dan scroll tadi. Aku mempunyai firasat bahwa Vyriel akan membawa kita kemari jadi aku
berjaga-jaga.”
“Bagus sekali, Nora!” puji Vyriel.
Caleb menghela nafas dan berjalan menuju warp. Nora menepuk pelan bahunya, memberikan semangat.
Kemudian Caleb menghilang, masuk kedalam pintu yang bersinar itu, disusul oleh Vyriel dan Nora. Aku
melangkahkan kakiku ragu-ragu. Oh, Kettere, bimbinglah aku ke jalan yang benar. Dan aku membiarkan
sinar putih itu menyedotku masuk kedalamnya.
___________________
Aku merasakan rasa nyeri yang begitu hebat di kepalaku.
“Ugh, batu sialan! Disini gelap sekali!” keluhku.
Aku menoleh kebelakang dan mendapati warp itu sudah menghilang. Benar apa yang dikatakan Caleb,
tidak ada jalan keluar selain menemukan pintu di sisi satunya.
“Kau takut, Kana?” bisik Vyriel di telingaku. Ia menekankan pedang merah panjangnya yang memiliki
garis biru dan putih ke pinggulku.
“Ha! Tentu saja tidak!” bantahku, menepis Oriental Inviciblenya.
Nora mengerling was-was, “Kau masih ingat rutenya, Caleb?”
“Sepertinya begitu. Ayo semuanya! Kita tidak mempunyai banyak waktu. Matahari sudah hampir
tenggelam,” desak craftsman itu, “Kana, bisakah kau memberikan tambahan kecepatan gerak untuk kami?”
“Tentu saja. Party Wind Rush!”
Lingkaran-lingkaran merah yang berpendar lemah menghiasi kaki kami berempat. Caleb merengkuh Nora
kedalam pelukannya dan segera mengambil posisi terdepan, memandu rombongan masuk ke tambang lebih
dalam.
Vyriel mendorongku, “Cepatlah, Kana! Apa yang kau tunggu?”
“Tunggu! Sabar sedikit! Kau berjalan di depanku saja. Aku tidak dapat melihat dengan jelas. Disini
gelap sekali tahu!” tukasku.
“Apa kau mempunyai rabun mata, Kana?” sindir Vyriel, “Kau bisa mengikuti jejak Wind Rush ini tanpa
perlu penerangan tambahan lagi, bodoh!”
“Wind Rush ini tidak akan membantuku untuk menghindari batuan-batuan tajam ini, tolol!”
“Terserahlah,” jawab Vyriel asal-asalan sambil mengeloyor pergi.
Aku mengangkat Saturn Maceku tinggi-tinggi, “Mass Cure!”
Cahaya dari gadaku menjalar ke seluruh ruangan tambang dan aku dapat melihat warrior itu berbelok di
tikungan yang kira-kira berjarak 10 meter dari tempatku berdiri. Aku bergegas menyusulnya. Tiba-tiba
sebuah tangan yang kasar dan kuat mencengkeram kakiku, menghentakkannya begitu keras sehingga aku
kehilangan seluruh keseimbanganku dan terjatuh. Saturn Maceku meredup dan padam. Kegelapan yang
pekat mendominasi pandanganku.
“Aduh!” erangku kesakitan.
Aku mendongak dan melihat kilatan sebuah pedang bulat tajam yang bergerak di udara. Aku berguling
kesamping saat pedang itu mendarat di batu karang terdekat. Percikan bunga api membumbung keatas.
Sialan! Apa itu tadi?
Aku meraih Saturn Maceku, “Mass Cure!”
Gadaku sekali lagi memancarkan cahaya yang segera menerangi seluruh ruangan, menampakkan mayat hidup
bertangan empat yang kelaparan. Celaka! Ruthless Skullo! Makhluk itu merayap mendekatiku. Desisan
rendah yang panjang keluar dari mulutnya.
Aku mengayunkan Saturn Maceku, melakukan rentetan kombo-kombo yang telah kupelajari, “1000 Aura
Pengusir Iblis!”
Aku meloncat setinggi mungkin dan melancarkan pukulan terakhirku. Gada unguku menghantam tengkuk
Ruthless Skullo. Skeleton Dark Sword miliknya itu berdenting nyaring, jatuh bersama pemiliknya yang
mati tercabik-cabik.
Aku menyeka keringat di dahiku dengan lengan baju kuning berbordir salib emas yang kukenakan,
“Vyriel. Tunggu aku!”
Aku beranjak, berlari mengarah ke belokan beberapa meter di depanku, tetapi roll raksasa bertopi
kuning menghalangi jalanku. Cave Ogre? Bale apalagi kali ini? Berapa bale yang harus kubunuh agar
aku bisa lewat dengan tenang? Mungkin jika aku menakut-nakuti Cave Ogre ini, dia mau memberiku
jalan.
Aku menepukkan Saturn Maceku keras-keras ke punggung troll itu. Kutarik otot-otot pipiku kebelakang,
membentuk sebuah seringai tajam. Cave Ogre itu mengeluarkan suara seperti raungan kesakitan. Bah!
Baru kupukul sedikit saja dia sudah menyerah. Tidak lama kemudian muncul satu Cave Ogre yang lebih
besar dari sisi timur. Oh, begitu rupanya. Raungan itu raungan meminta bantuan. Cih! Begitu saja
sudah meminta bantuan.
Aku menyodok perut Cave Ogre disampingku. Troll itu terhuyung dan mengamuk, lalu mengayunkan palu
tambang raksasanya. Ayunan Ogre’s Pick milik troll itu menghantam pipi kiriku keras sekali. Badanku
terlontar dua meter kebelakang dan mendarat mulus di tanah. Belum sempat aku berdiri, Cave Ogre
lainnya yang lebih besar mendaratkan pukulannya ke perutku.
“Blessed Swing!”
Cahaya jingga yang menyilaukan meledak diantara kami. Cave Ogre raksasa itu meraung sambil menutup
matanya dengan tangannya yang besar, bergerak menjauhiku.
“Self Cure!”
Aku menarik nafas lega. Rasa sakit di sekujur tubuhku hilang. Aku membungkuk, mengambil kuda-kuda
untuk melakukan serangan balik. Kuhitung satu sampai tiga dalam hati. Satu. Cave Ogre raksasa itu
menurunkan tangannya dan melotot tajam padaku. Dua. Aku mengenggam gada unguku erat-erat, bersiap-
siap. Tiga. Cave Ogre raksasa, disusul oleh Cave Ogre yang lebih kecil, berlari kearahku dan aku
menyambut mereka. Sekarang!
“Gada Empat Raja Langit!”
Aku mengayunkan Saturn Maceku keatas dan kebawah. Bunyi gemerincing gesekan cincin-cincin ungu yang
menghiasi gadaku turut meramaikan suasana. Aku berhasil menjatuhkan Cave Ogre raksasa.
“Rapalan Mantra Suci!”
Cave Ogre yang lebih kecil tergeletak disamping temannya. Nafasku memburu dan lebih banyak keringat
yang menetes dari dahiku. Wow! Hebat sekali aku masih mengingat urutan gerakan kombo itu.
Aku membalikkan badanku dan seekor eyes menembakkan lasernya padaku. Aku bisa merasakan darah hangat
mengalir turun dari bahuku. Kulepas jubah gipsyku dan melemparnya ke tanah. Serangan laser kembali
ditembakkan oleh eyes itu, nyaris mengenai paha kananku. Aku meloncat dua kali kedepan, berpijak
pada kedua sayapnya yang rapuh dan menjulurkan Saturn Maceku tepat kearah mata eyes. Cairan lendir
hijau menyembur keluar dari matanya yang lebar.
Sial! Yang tadi itu nyaris saja. Kurogoh kantong rokku, mengambil sebuah botol potion merah dan
meneguknya. Belum sampai aku menghabiskan seluruh ramuan itu, aku menyadari bahwa hanya ada dua
botol potion di dalam kantongku. Aku tertegun. Kurogoh sekali lagi kantongku, memastikan bahwa aku
hanya berkhayal. Dan aku mengutuki kebodohanku. Sial! Sial! Sial! Persediaan potion tentu saja
dibawa oleh Nora. Mengapa tadi aku tidak mengambil bagianku dan menyimpannya sendiri? Itu karena aku
tidak berpikir bahwa aku akan terpisah dari rombongan. Sial! Sial! Kalau begini bagaimana nasibku
sekarang?
Aku berlari ke tikungan dimana aku melihat Vyriel berbelok, berharap ia masih menungguku diujung
lorong yang sempit.
“Vyriel!” teriakku lantang, memanggil nama sepupuku itu.
Kupasang telingaku baik-baik tetapi tetap tidak ada jawaban. Aku memanggil Vyriel sekali lagi.
Dinding-dinding tambang memantulkan suaraku, membuat gema-gema yang mengerikan.
“Nora… Caleb… Dimana kalian?”
Kesunyian yang panjang mencekamku. Aku berusaha mengenyahkan rasa panik dan menenangkan pikiranku.
Ah, mereka pasti menungguku disisi lorong yang lain. Mereka tidak mungkin meninggalkanku.
Aku terus berlari seperti seekor singa yang mengincar buruannya, berpacu dengan waktu. Beberapa
menit berlalu, yang tertangkap olehku hanyalah suara dengkuran Cave Ogre yang *****akkan telinga,
bukan sesuatu seperti yang kuharapkan. Jantungku berpacu seiring dengan ketakutanku yang bertambah
setiap langkah yang kuambil. Aku mempercepat langkahku, tidak memperdulikan kemungkinan derap
sepatuku akan membangunkan Ruthless Skullo atau Cave Ogre.
Aku tersesat!
Lanjut ke chapter 9 : Misi Pencarian
Seal Online Fanfiction by milkteddy © 2009
Fanfiction Heart of Sword SUMBER
.
Chapter 8: Tambang Tertutup
“Apa? Tambang tertutup? Tidak mungkin. Kita tidak boleh masuk kesana,” gerutu Caleb seraya menunjuk
sebuah warp di depannya.
“Kenapa? Kau takut, Caleb?” canda Vyriel.
“Apa kau pernah kesana, Vyriel?” balas Caleb, mencemooh.
“Belum,” aku warrior itu malu-malu.
“Kalau begitu jangan mengejekku. Aku sudah pernah kesana dan aku tidak takut. Jalan keluar tambang
tertutup terbuka hanya satu kali saja setiap harinya,” jelasnya.
“Wow! Apakah Cane yang memintamu untuk menunggunya disana?”
Caleb mengiyakan, “Ya. Dan aku tidak akan terjebak dalam kebodohan yang sama seperti dulu. Aku tidak
percaya bahwa Halvar benar-benar berada disana. Aku yakin sekali bahwa Cane ingin mengerjai kita
seperti dia mengerjaiku dulu.”
“Mengapa kita tidak mencobanya?” tanyaku spontan.
“Mengapa? Karena menurutku kita hanya membuang-buang waktu saja. Mungkin kita akan tersesat disana
dan kita tidak tahu apakah hari telah gelap atau masih siang. Pintu itu hanya terbuka saat matahari
tenggelam. Hanya saat matahari tenggelam,” tekannya.
“Benar. Lagipula kita tidak tahu dimana Halvar sekarang. Apakah dia sudah menemukan jalan keluar
dari tambang tersebut, ataukah dia masih tersesat di dalamnya. Atau mungkin Halvar tidak kesana sama
sekali,” tambah Nora, mendukung Caleb.
Caleb tersenyum simpul, menyisir rambut coklatnya yang acak-acakan kebelakang. Raut mukanya
menyatakan bahwa ia senang tunangannya memihaknya.
“Menurutku itu patut dicoba. Kita harus mencoba peruntungan kita, Caleb. Kita harus mencoba berbagai
kemungkinan jika kita ingin menemukan Halvar,” kata Vyriel.
Caleb mundur beberapa langkah, bersandar pada pohon di belakangnya. Tangannya dilipat diatas dadanya
dan wajahnya ditekuk. Palu merah dengan ukiran apinya dijatuhkan begitu saja di tanah disampingnya.
Nora berpaling padaku, “Kana, kau yang paling mengerti tentang kakakmu. Disaat seperti ini, apa yang
akan dilakukan kakakmu, Kana, jika ia mendapat tantangan seperti ini?”
“Halvar sangat suka sekali pada tantangan atau taruhan. Aku yakin bahwa ia tidak melewatkannya,”
ceritaku.
Vyriel melonjak, “Berarti dia pergi ke tambang tertutup kalau begitu! Kita akan menyusulnya. Benar?”
Nora mengalihkan matanya dariku kearah Caleb. Mata mereka bertemu dan craftsman itu menggangguk
pasrah.
“Jika memang benar begitu, kita harus mempersiapkan bekal yang sangat banyak,” saran Caleb.
“Kau melebih-lebihkan, Caleb. Kita dengan mudah dapat membunuh para monster di tambang itu,” kekeh
Vyriel.
“Jangan sombong, Vyriel!” aku menyikut rusuknya, ”Seberapa banyak monster yang ada disana, Caleb?”
Caleb mendesah, “Banyak. Sangat banyak. Biarpun kita dapat membunuh mereka dengan mudah, kita tidak
tahu kapan kita akan keluar. Dan kita tidak tahu kapan persediaan bekal kita akan habis.”
“Berapa lama kau berada disana?” tanyaku lagi, penasaran.
“Dua minggu,”
“Tapi itu kan waktu kau masih sangat muda, Caleb, tidak seperti sekarang,” timpal Vyriel,
membusungkan dadanya. Sisik-sisik emas dibajunya berkilauan tertimpa cahaya matahari senja.
“Ya, memang benar. Aku masih sangat muda,” gumamnya tidak jelas.
Aku berpikir sejenak, “Mengapa kau tidak menggunakan scroll saja, Caleb?”
Caleb terbata-bata, “A… Aku… Aku tidak sengaja menjatuhkan cadangan scrollku ketika aku berlari dari
para bale.”
Vyriel mendengus keras sekali, “Sudah kubilang kau hanya melebih-lebihkan, Caleb.”
“Biarpun kita bisa menggunakan scroll,” Caleb mendecak, “Bagaimana jika Halvar menunggu di seberang
sisi yang lain? Intinya kita juga tetap harus menemukan jalan keluarnya kalau begitu.”
Aku terperangah, “Memangnya ada berapa sisi tambang?”
“Sudah, jangan menggoda Caleb terus! Kana sudah memutuskan untuk pergi kesana dan kita
menyetujuinya, maka kita akan masuk,” sahut Nora, menengahi, “Aku sudah membeli beberapa botol
potion dan scroll tadi. Aku mempunyai firasat bahwa Vyriel akan membawa kita kemari jadi aku
berjaga-jaga.”
“Bagus sekali, Nora!” puji Vyriel.
Caleb menghela nafas dan berjalan menuju warp. Nora menepuk pelan bahunya, memberikan semangat.
Kemudian Caleb menghilang, masuk kedalam pintu yang bersinar itu, disusul oleh Vyriel dan Nora. Aku
melangkahkan kakiku ragu-ragu. Oh, Kettere, bimbinglah aku ke jalan yang benar. Dan aku membiarkan
sinar putih itu menyedotku masuk kedalamnya.
___________________
Aku merasakan rasa nyeri yang begitu hebat di kepalaku.
“Ugh, batu sialan! Disini gelap sekali!” keluhku.
Aku menoleh kebelakang dan mendapati warp itu sudah menghilang. Benar apa yang dikatakan Caleb,
tidak ada jalan keluar selain menemukan pintu di sisi satunya.
“Kau takut, Kana?” bisik Vyriel di telingaku. Ia menekankan pedang merah panjangnya yang memiliki
garis biru dan putih ke pinggulku.
“Ha! Tentu saja tidak!” bantahku, menepis Oriental Inviciblenya.
Nora mengerling was-was, “Kau masih ingat rutenya, Caleb?”
“Sepertinya begitu. Ayo semuanya! Kita tidak mempunyai banyak waktu. Matahari sudah hampir
tenggelam,” desak craftsman itu, “Kana, bisakah kau memberikan tambahan kecepatan gerak untuk kami?”
“Tentu saja. Party Wind Rush!”
Lingkaran-lingkaran merah yang berpendar lemah menghiasi kaki kami berempat. Caleb merengkuh Nora
kedalam pelukannya dan segera mengambil posisi terdepan, memandu rombongan masuk ke tambang lebih
dalam.
Vyriel mendorongku, “Cepatlah, Kana! Apa yang kau tunggu?”
“Tunggu! Sabar sedikit! Kau berjalan di depanku saja. Aku tidak dapat melihat dengan jelas. Disini
gelap sekali tahu!” tukasku.
“Apa kau mempunyai rabun mata, Kana?” sindir Vyriel, “Kau bisa mengikuti jejak Wind Rush ini tanpa
perlu penerangan tambahan lagi, bodoh!”
“Wind Rush ini tidak akan membantuku untuk menghindari batuan-batuan tajam ini, tolol!”
“Terserahlah,” jawab Vyriel asal-asalan sambil mengeloyor pergi.
Aku mengangkat Saturn Maceku tinggi-tinggi, “Mass Cure!”
Cahaya dari gadaku menjalar ke seluruh ruangan tambang dan aku dapat melihat warrior itu berbelok di
tikungan yang kira-kira berjarak 10 meter dari tempatku berdiri. Aku bergegas menyusulnya. Tiba-tiba
sebuah tangan yang kasar dan kuat mencengkeram kakiku, menghentakkannya begitu keras sehingga aku
kehilangan seluruh keseimbanganku dan terjatuh. Saturn Maceku meredup dan padam. Kegelapan yang
pekat mendominasi pandanganku.
“Aduh!” erangku kesakitan.
Aku mendongak dan melihat kilatan sebuah pedang bulat tajam yang bergerak di udara. Aku berguling
kesamping saat pedang itu mendarat di batu karang terdekat. Percikan bunga api membumbung keatas.
Sialan! Apa itu tadi?
Aku meraih Saturn Maceku, “Mass Cure!”
Gadaku sekali lagi memancarkan cahaya yang segera menerangi seluruh ruangan, menampakkan mayat hidup
bertangan empat yang kelaparan. Celaka! Ruthless Skullo! Makhluk itu merayap mendekatiku. Desisan
rendah yang panjang keluar dari mulutnya.
Aku mengayunkan Saturn Maceku, melakukan rentetan kombo-kombo yang telah kupelajari, “1000 Aura
Pengusir Iblis!”
Aku meloncat setinggi mungkin dan melancarkan pukulan terakhirku. Gada unguku menghantam tengkuk
Ruthless Skullo. Skeleton Dark Sword miliknya itu berdenting nyaring, jatuh bersama pemiliknya yang
mati tercabik-cabik.
Aku menyeka keringat di dahiku dengan lengan baju kuning berbordir salib emas yang kukenakan,
“Vyriel. Tunggu aku!”
Aku beranjak, berlari mengarah ke belokan beberapa meter di depanku, tetapi roll raksasa bertopi
kuning menghalangi jalanku. Cave Ogre? Bale apalagi kali ini? Berapa bale yang harus kubunuh agar
aku bisa lewat dengan tenang? Mungkin jika aku menakut-nakuti Cave Ogre ini, dia mau memberiku
jalan.
Aku menepukkan Saturn Maceku keras-keras ke punggung troll itu. Kutarik otot-otot pipiku kebelakang,
membentuk sebuah seringai tajam. Cave Ogre itu mengeluarkan suara seperti raungan kesakitan. Bah!
Baru kupukul sedikit saja dia sudah menyerah. Tidak lama kemudian muncul satu Cave Ogre yang lebih
besar dari sisi timur. Oh, begitu rupanya. Raungan itu raungan meminta bantuan. Cih! Begitu saja
sudah meminta bantuan.
Aku menyodok perut Cave Ogre disampingku. Troll itu terhuyung dan mengamuk, lalu mengayunkan palu
tambang raksasanya. Ayunan Ogre’s Pick milik troll itu menghantam pipi kiriku keras sekali. Badanku
terlontar dua meter kebelakang dan mendarat mulus di tanah. Belum sempat aku berdiri, Cave Ogre
lainnya yang lebih besar mendaratkan pukulannya ke perutku.
“Blessed Swing!”
Cahaya jingga yang menyilaukan meledak diantara kami. Cave Ogre raksasa itu meraung sambil menutup
matanya dengan tangannya yang besar, bergerak menjauhiku.
“Self Cure!”
Aku menarik nafas lega. Rasa sakit di sekujur tubuhku hilang. Aku membungkuk, mengambil kuda-kuda
untuk melakukan serangan balik. Kuhitung satu sampai tiga dalam hati. Satu. Cave Ogre raksasa itu
menurunkan tangannya dan melotot tajam padaku. Dua. Aku mengenggam gada unguku erat-erat, bersiap-
siap. Tiga. Cave Ogre raksasa, disusul oleh Cave Ogre yang lebih kecil, berlari kearahku dan aku
menyambut mereka. Sekarang!
“Gada Empat Raja Langit!”
Aku mengayunkan Saturn Maceku keatas dan kebawah. Bunyi gemerincing gesekan cincin-cincin ungu yang
menghiasi gadaku turut meramaikan suasana. Aku berhasil menjatuhkan Cave Ogre raksasa.
“Rapalan Mantra Suci!”
Cave Ogre yang lebih kecil tergeletak disamping temannya. Nafasku memburu dan lebih banyak keringat
yang menetes dari dahiku. Wow! Hebat sekali aku masih mengingat urutan gerakan kombo itu.
Aku membalikkan badanku dan seekor eyes menembakkan lasernya padaku. Aku bisa merasakan darah hangat
mengalir turun dari bahuku. Kulepas jubah gipsyku dan melemparnya ke tanah. Serangan laser kembali
ditembakkan oleh eyes itu, nyaris mengenai paha kananku. Aku meloncat dua kali kedepan, berpijak
pada kedua sayapnya yang rapuh dan menjulurkan Saturn Maceku tepat kearah mata eyes. Cairan lendir
hijau menyembur keluar dari matanya yang lebar.
Sial! Yang tadi itu nyaris saja. Kurogoh kantong rokku, mengambil sebuah botol potion merah dan
meneguknya. Belum sampai aku menghabiskan seluruh ramuan itu, aku menyadari bahwa hanya ada dua
botol potion di dalam kantongku. Aku tertegun. Kurogoh sekali lagi kantongku, memastikan bahwa aku
hanya berkhayal. Dan aku mengutuki kebodohanku. Sial! Sial! Sial! Persediaan potion tentu saja
dibawa oleh Nora. Mengapa tadi aku tidak mengambil bagianku dan menyimpannya sendiri? Itu karena aku
tidak berpikir bahwa aku akan terpisah dari rombongan. Sial! Sial! Kalau begini bagaimana nasibku
sekarang?
Aku berlari ke tikungan dimana aku melihat Vyriel berbelok, berharap ia masih menungguku diujung
lorong yang sempit.
“Vyriel!” teriakku lantang, memanggil nama sepupuku itu.
Kupasang telingaku baik-baik tetapi tetap tidak ada jawaban. Aku memanggil Vyriel sekali lagi.
Dinding-dinding tambang memantulkan suaraku, membuat gema-gema yang mengerikan.
“Nora… Caleb… Dimana kalian?”
Kesunyian yang panjang mencekamku. Aku berusaha mengenyahkan rasa panik dan menenangkan pikiranku.
Ah, mereka pasti menungguku disisi lorong yang lain. Mereka tidak mungkin meninggalkanku.
Aku terus berlari seperti seekor singa yang mengincar buruannya, berpacu dengan waktu. Beberapa
menit berlalu, yang tertangkap olehku hanyalah suara dengkuran Cave Ogre yang *****akkan telinga,
bukan sesuatu seperti yang kuharapkan. Jantungku berpacu seiring dengan ketakutanku yang bertambah
setiap langkah yang kuambil. Aku mempercepat langkahku, tidak memperdulikan kemungkinan derap
sepatuku akan membangunkan Ruthless Skullo atau Cave Ogre.
Aku tersesat!
Lanjut ke chapter 9 : Misi Pencarian
Seal Online Fanfiction by milkteddy © 2009
Fanfiction Heart of Sword SUMBER
0 komentar:
Posting Komentar