Fanfiction SEAL Online (Heart of Sword) Chapter 8: Tambang Tertutup

Home » , , » Fanfiction SEAL Online (Heart of Sword) Chapter 8: Tambang Tertutup
Cerita ini di adaptasi dari Seal Online yang berlatar belakang dunia Shiltz.

Chapter 8: Tambang Tertutup

“Apa? Tambang tertutup? Tidak mungkin. Kita tidak boleh masuk kesana,” gerutu Caleb seraya menunjuk

sebuah warp di depannya.

“Kenapa? Kau takut, Caleb?” canda Vyriel.

“Apa kau pernah kesana, Vyriel?” balas Caleb, mencemooh.

“Belum,” aku warrior itu malu-malu.

“Kalau begitu jangan mengejekku. Aku sudah pernah kesana dan aku tidak takut. Jalan keluar tambang

tertutup terbuka hanya satu kali saja setiap harinya,” jelasnya.

“Wow! Apakah Cane yang memintamu untuk menunggunya disana?”

Caleb mengiyakan, “Ya. Dan aku tidak akan terjebak dalam kebodohan yang sama seperti dulu. Aku tidak

percaya bahwa Halvar benar-benar berada disana. Aku yakin sekali bahwa Cane ingin mengerjai kita

seperti dia mengerjaiku dulu.”

“Mengapa kita tidak mencobanya?” tanyaku spontan.

“Mengapa? Karena menurutku kita hanya membuang-buang waktu saja. Mungkin kita akan tersesat disana

dan kita tidak tahu apakah hari telah gelap atau masih siang. Pintu itu hanya terbuka saat matahari

tenggelam. Hanya saat matahari tenggelam,” tekannya.

“Benar. Lagipula kita tidak tahu dimana Halvar sekarang. Apakah dia sudah menemukan jalan keluar

dari tambang tersebut, ataukah dia masih tersesat di dalamnya. Atau mungkin Halvar tidak kesana sama

sekali,” tambah Nora, mendukung Caleb.

Caleb tersenyum simpul, menyisir rambut coklatnya yang acak-acakan kebelakang. Raut mukanya

menyatakan bahwa ia senang tunangannya memihaknya.

“Menurutku itu patut dicoba. Kita harus mencoba peruntungan kita, Caleb. Kita harus mencoba berbagai

kemungkinan jika kita ingin menemukan Halvar,” kata Vyriel.

Caleb mundur beberapa langkah, bersandar pada pohon di belakangnya. Tangannya dilipat diatas dadanya

dan wajahnya ditekuk. Palu merah dengan ukiran apinya dijatuhkan begitu saja di tanah disampingnya.

Nora berpaling padaku, “Kana, kau yang paling mengerti tentang kakakmu. Disaat seperti ini, apa yang

akan dilakukan kakakmu, Kana, jika ia mendapat tantangan seperti ini?”

“Halvar sangat suka sekali pada tantangan atau taruhan. Aku yakin bahwa ia tidak melewatkannya,”

ceritaku.

Vyriel melonjak, “Berarti dia pergi ke tambang tertutup kalau begitu! Kita akan menyusulnya. Benar?”

Nora mengalihkan matanya dariku kearah Caleb. Mata mereka bertemu dan craftsman itu menggangguk

pasrah.

“Jika memang benar begitu, kita harus mempersiapkan bekal yang sangat banyak,” saran Caleb.

“Kau melebih-lebihkan, Caleb. Kita dengan mudah dapat membunuh para monster di tambang itu,” kekeh

Vyriel.

“Jangan sombong, Vyriel!” aku menyikut rusuknya, ”Seberapa banyak monster yang ada disana, Caleb?”

Caleb mendesah, “Banyak. Sangat banyak. Biarpun kita dapat membunuh mereka dengan mudah, kita tidak

tahu kapan kita akan keluar. Dan kita tidak tahu kapan persediaan bekal kita akan habis.”

“Berapa lama kau berada disana?” tanyaku lagi, penasaran.

“Dua minggu,”

“Tapi itu kan waktu kau masih sangat muda, Caleb, tidak seperti sekarang,” timpal Vyriel,

membusungkan dadanya. Sisik-sisik emas dibajunya berkilauan tertimpa cahaya matahari senja.

“Ya, memang benar. Aku masih sangat muda,” gumamnya tidak jelas.

Aku berpikir sejenak, “Mengapa kau tidak menggunakan scroll saja, Caleb?”

Caleb terbata-bata, “A… Aku… Aku tidak sengaja menjatuhkan cadangan scrollku ketika aku berlari dari

para bale.”

Vyriel mendengus keras sekali, “Sudah kubilang kau hanya melebih-lebihkan, Caleb.”

“Biarpun kita bisa menggunakan scroll,” Caleb mendecak, “Bagaimana jika Halvar menunggu di seberang

sisi yang lain? Intinya kita juga tetap harus menemukan jalan keluarnya kalau begitu.”

Aku terperangah, “Memangnya ada berapa sisi tambang?”

“Sudah, jangan menggoda Caleb terus! Kana sudah memutuskan untuk pergi kesana dan kita

menyetujuinya, maka kita akan masuk,” sahut Nora, menengahi, “Aku sudah membeli beberapa botol

potion dan scroll tadi. Aku mempunyai firasat bahwa Vyriel akan membawa kita kemari jadi aku

berjaga-jaga.”

“Bagus sekali, Nora!” puji Vyriel.

Caleb menghela nafas dan berjalan menuju warp. Nora menepuk pelan bahunya, memberikan semangat.

Kemudian Caleb menghilang, masuk kedalam pintu yang bersinar itu, disusul oleh Vyriel dan Nora. Aku

melangkahkan kakiku ragu-ragu. Oh, Kettere, bimbinglah aku ke jalan yang benar. Dan aku membiarkan

sinar putih itu menyedotku masuk kedalamnya.

___________________

Aku merasakan rasa nyeri yang begitu hebat di kepalaku.

“Ugh, batu sialan! Disini gelap sekali!” keluhku.

Aku menoleh kebelakang dan mendapati warp itu sudah menghilang. Benar apa yang dikatakan Caleb,

tidak ada jalan keluar selain menemukan pintu di sisi satunya.

“Kau takut, Kana?” bisik Vyriel di telingaku. Ia menekankan pedang merah panjangnya yang memiliki

garis biru dan putih ke pinggulku.

“Ha! Tentu saja tidak!” bantahku, menepis Oriental Inviciblenya.

Nora mengerling was-was, “Kau masih ingat rutenya, Caleb?”

“Sepertinya begitu. Ayo semuanya! Kita tidak mempunyai banyak waktu. Matahari sudah hampir

tenggelam,” desak craftsman itu, “Kana, bisakah kau memberikan tambahan kecepatan gerak untuk kami?”

“Tentu saja. Party Wind Rush!”

Lingkaran-lingkaran merah yang berpendar lemah menghiasi kaki kami berempat. Caleb merengkuh Nora

kedalam pelukannya dan segera mengambil posisi terdepan, memandu rombongan masuk ke tambang lebih

dalam.

Vyriel mendorongku, “Cepatlah, Kana! Apa yang kau tunggu?”

“Tunggu! Sabar sedikit! Kau berjalan di depanku saja. Aku tidak dapat melihat dengan jelas. Disini

gelap sekali tahu!” tukasku.

“Apa kau mempunyai rabun mata, Kana?” sindir Vyriel, “Kau bisa mengikuti jejak Wind Rush ini tanpa

perlu penerangan tambahan lagi, bodoh!”

“Wind Rush ini tidak akan membantuku untuk menghindari batuan-batuan tajam ini, tolol!”

“Terserahlah,” jawab Vyriel asal-asalan sambil mengeloyor pergi.

Aku mengangkat Saturn Maceku tinggi-tinggi, “Mass Cure!”

Cahaya dari gadaku menjalar ke seluruh ruangan tambang dan aku dapat melihat warrior itu berbelok di

tikungan yang kira-kira berjarak 10 meter dari tempatku berdiri. Aku bergegas menyusulnya. Tiba-tiba

sebuah tangan yang kasar dan kuat mencengkeram kakiku, menghentakkannya begitu keras sehingga aku

kehilangan seluruh keseimbanganku dan terjatuh. Saturn Maceku meredup dan padam. Kegelapan yang

pekat mendominasi pandanganku.

“Aduh!” erangku kesakitan.

Aku mendongak dan melihat kilatan sebuah pedang bulat tajam yang bergerak di udara. Aku berguling

kesamping saat pedang itu mendarat di batu karang terdekat. Percikan bunga api membumbung keatas.

Sialan! Apa itu tadi?

Aku meraih Saturn Maceku, “Mass Cure!”

Gadaku sekali lagi memancarkan cahaya yang segera menerangi seluruh ruangan, menampakkan mayat hidup

bertangan empat yang kelaparan. Celaka! Ruthless Skullo! Makhluk itu merayap mendekatiku. Desisan

rendah yang panjang keluar dari mulutnya.

Aku mengayunkan Saturn Maceku, melakukan rentetan kombo-kombo yang telah kupelajari, “1000 Aura

Pengusir Iblis!”

Aku meloncat setinggi mungkin dan melancarkan pukulan terakhirku. Gada unguku menghantam tengkuk

Ruthless Skullo. Skeleton Dark Sword miliknya itu berdenting nyaring, jatuh bersama pemiliknya yang

mati tercabik-cabik.

Aku menyeka keringat di dahiku dengan lengan baju kuning berbordir salib emas yang kukenakan,

“Vyriel. Tunggu aku!”

Aku beranjak, berlari mengarah ke belokan beberapa meter di depanku, tetapi roll raksasa bertopi

kuning menghalangi jalanku. Cave Ogre? Bale apalagi kali ini? Berapa bale yang harus kubunuh agar

aku bisa lewat dengan tenang? Mungkin jika aku menakut-nakuti Cave Ogre ini, dia mau memberiku

jalan.

Aku menepukkan Saturn Maceku keras-keras ke punggung troll itu. Kutarik otot-otot pipiku kebelakang,

membentuk sebuah seringai tajam. Cave Ogre itu mengeluarkan suara seperti raungan kesakitan. Bah!

Baru kupukul sedikit saja dia sudah menyerah. Tidak lama kemudian muncul satu Cave Ogre yang lebih

besar dari sisi timur. Oh, begitu rupanya. Raungan itu raungan meminta bantuan. Cih! Begitu saja

sudah meminta bantuan.

Aku menyodok perut Cave Ogre disampingku. Troll itu terhuyung dan mengamuk, lalu mengayunkan palu

tambang raksasanya. Ayunan Ogre’s Pick milik troll itu menghantam pipi kiriku keras sekali. Badanku

terlontar dua meter kebelakang dan mendarat mulus di tanah. Belum sempat aku berdiri, Cave Ogre

lainnya yang lebih besar mendaratkan pukulannya ke perutku.

“Blessed Swing!”

Cahaya jingga yang menyilaukan meledak diantara kami. Cave Ogre raksasa itu meraung sambil menutup

matanya dengan tangannya yang besar, bergerak menjauhiku.

“Self Cure!”

Aku menarik nafas lega. Rasa sakit di sekujur tubuhku hilang. Aku membungkuk, mengambil kuda-kuda

untuk melakukan serangan balik. Kuhitung satu sampai tiga dalam hati. Satu. Cave Ogre raksasa itu

menurunkan tangannya dan melotot tajam padaku. Dua. Aku mengenggam gada unguku erat-erat, bersiap-

siap. Tiga. Cave Ogre raksasa, disusul oleh Cave Ogre yang lebih kecil, berlari kearahku dan aku

menyambut mereka. Sekarang!

“Gada Empat Raja Langit!”

Aku mengayunkan Saturn Maceku keatas dan kebawah. Bunyi gemerincing gesekan cincin-cincin ungu yang

menghiasi gadaku turut meramaikan suasana. Aku berhasil menjatuhkan Cave Ogre raksasa.

“Rapalan Mantra Suci!”

Cave Ogre yang lebih kecil tergeletak disamping temannya. Nafasku memburu dan lebih banyak keringat

yang menetes dari dahiku. Wow! Hebat sekali aku masih mengingat urutan gerakan kombo itu.

Aku membalikkan badanku dan seekor eyes menembakkan lasernya padaku. Aku bisa merasakan darah hangat

mengalir turun dari bahuku. Kulepas jubah gipsyku dan melemparnya ke tanah. Serangan laser kembali

ditembakkan oleh eyes itu, nyaris mengenai paha kananku. Aku meloncat dua kali kedepan, berpijak

pada kedua sayapnya yang rapuh dan menjulurkan Saturn Maceku tepat kearah mata eyes. Cairan lendir

hijau menyembur keluar dari matanya yang lebar.

Sial! Yang tadi itu nyaris saja. Kurogoh kantong rokku, mengambil sebuah botol potion merah dan

meneguknya. Belum sampai aku menghabiskan seluruh ramuan itu, aku menyadari bahwa hanya ada dua

botol potion di dalam kantongku. Aku tertegun. Kurogoh sekali lagi kantongku, memastikan bahwa aku

hanya berkhayal. Dan aku mengutuki kebodohanku. Sial! Sial! Sial! Persediaan potion tentu saja

dibawa oleh Nora. Mengapa tadi aku tidak mengambil bagianku dan menyimpannya sendiri? Itu karena aku

tidak berpikir bahwa aku akan terpisah dari rombongan. Sial! Sial! Kalau begini bagaimana nasibku

sekarang?

Aku berlari ke tikungan dimana aku melihat Vyriel berbelok, berharap ia masih menungguku diujung

lorong yang sempit.

“Vyriel!” teriakku lantang, memanggil nama sepupuku itu.

Kupasang telingaku baik-baik tetapi tetap tidak ada jawaban. Aku memanggil Vyriel sekali lagi.

Dinding-dinding tambang memantulkan suaraku, membuat gema-gema yang mengerikan.

“Nora… Caleb… Dimana kalian?”

Kesunyian yang panjang mencekamku. Aku berusaha mengenyahkan rasa panik dan menenangkan pikiranku.

Ah, mereka pasti menungguku disisi lorong yang lain. Mereka tidak mungkin meninggalkanku.

Aku terus berlari seperti seekor singa yang mengincar buruannya, berpacu dengan waktu. Beberapa

menit berlalu, yang tertangkap olehku hanyalah suara dengkuran Cave Ogre yang *****akkan telinga,

bukan sesuatu seperti yang kuharapkan. Jantungku berpacu seiring dengan ketakutanku yang bertambah

setiap langkah yang kuambil. Aku mempercepat langkahku, tidak memperdulikan kemungkinan derap

sepatuku akan membangunkan Ruthless Skullo atau Cave Ogre.

Aku tersesat!

Lanjut ke chapter 9 : Misi Pencarian
Seal Online Fanfiction by milkteddy © 2009
Fanfiction Heart of Sword SUMBER
.
Share this article :