Fanfiction SEAL Online (Heart of Sword) Chapter 9: Misi Pencarian
Home »
Fanfiction SEAL Online
,
seal online
,
Serba-serbi
» Fanfiction SEAL Online (Heart of Sword) Chapter 9: Misi Pencarian
Cerita ini di adaptasi dari Seal Online yang berlatar belakang dunia Shiltz.
Chapter 9: Misi Pencarian.
Aku berdiri mematung di depan teras rumah yang megah di sebuah kompleks perumahan Madelin. Wangi
bunga yang harum semerbak memenuhi udara di sekitarnya. Aku mengangkat tanganku ragu-ragu, ingin
mengetuk pintu tersebut tetapi kemudian terhenti. Terdengar suara berwibawa memanggilku dari dalam.
“Halvar, aku tahu kamu disana. Masuklah!”
Aku dapat merasakan badanku yang tegang sedikit mengendur. Ini baru pertama kalinya aku datang
kemari sendirian.
“Halo, Marcus,” sapaku pelan, menurunkan tudung jubah gipsyku yang membalut tubuhku rapat.
Aku menyapukan pandanganku ke sekeliling ruangan. Meja-meja kayu memenuhi separuh kamar dan rak-rak
buku yang besar merekat erat pada dinding yang dilapisi kain hijau halus.
Seorang pria berambut pirang beranjak dari kursinya, menjabat tanganku, “Halo, Halvar. Sudah lama
sekali tidak berjumpa denganmu.”
“Aku heran mengapa kau masih saja berkutat dengan semua bukumu ini,”
Marcus tergelak keras sekali, “Ah! Tentu saja! Aku masih mempunyai banyak sekali pertanyaan yang
belum kutemukan jawabannya.”
“Dan mengapa disini sepi sekali?”
“Kau tahu bahwa aku hanya menyukai keheningan,”
Bibirku berkedut ke samping membentuk sebuah senyuman kerinduan. Ia mempersilahkanku duduk dan
menyuguhkan secangkir teh madu favoritnya.
“Maksudku, dimana Emillia? Aku tidak melihatnya menyambutku seperti biasanya. Ia masih menjadi
asistenmu bukan?” tanyaku penasaran.
“Sore hari adalah waktu Emillia untuk berkunjung ke gereja,” jawabnya sambil lalu, sibuk dengan
perkamen-perkamen kuno yang tersebar di mejanya, “Bagaimana kabar ayahmu, Halvar?”
Aku tersedak. Cangkir teh yang kupegang meluncur begitu saja ke karpet kuning kesayangan Marcus.
“Ada apa, Halvar? Apa bicaraku salah?”
Butuh waktu yang cukup lama untuk menghentikan batukku.
“Ayahku sudah meninggal, Marcus,” jelasku, membersihkan genangan air teh itu dengan sapu tanganku.
Marcus mendongak dari balik tumpukan bukunya, “Apa?”
“Ayahku sudah meninggal,” ulangku, “Kukira cerita ini sudah tersebar ke keluarga kerajaan.”
“Sungguh? Kapan? Bagaimana?”
“Serangan di Hutan Kematian beberapa bulan yang lalu. Kami sedang berkemah disana,”
“Jadi, isi surat itu memang benar,” gumam Marcus tidak jelas.
Aku mendekatinya, “Surat apa?”
“Ah! Tidak! Bukan apa-apa. Bagaimana keadaanmu? Dimana kamu tinggal sekarang? Apa kamu masih bersama
para kaum gipsy? Aku tidak melihat adikmu bersamamu,”
Aku menelan ludahku, “Kana aku titipkan pada Paman Adalmar. Dia aman disana.”
Marcus menyadari perubahan suaraku, “Apa maksudmu dengan dia aman disana? Dia aman dimana-mana,
Halvar. Dia bukan buronan yang tidak akan berhenti diburu sampai Tentara Kerajaan mendapatkan
kepalanya.”
“Aku yang menjadi buronan lebih tepatnya,” koreksiku.
Mata pria itu terbelalak, tidak percaya, “Kau melakukan suatu tindakan kejahatan?”
“Bukan itu maksudku. Aku meninggalkan Kana disana tanpa memberitahunya apa-apa. Tampaknya Kana
melaporkan hilangnya diriku pada Paman Adalmar dan mereka semua bergerak untuk mencariku,”
“Memangnya apa yang ingin kau lakukan sampai-sampai harus merahasiakannya pada adikmu sendiri?”
“Tidak, bukan sesuatu yang penting kok. Aku hanya sedang mencari petunjuk,” alibiku, menyisir rambut
hitamku yang lepek ke belakang.
Ia menghela nafas, tidak terkejut sama sekali mendengar penuturanku, “Aku tidak bisa melakukan apa-
apa, Halvar. Jika kau kemari ingin meminta bantuanku, kau salah mengambil langkah. Aku bukan lagi
orang Kerajaan yang bisa seenaknya melakukan apapun yang kuinginkan. Masa-masa itu sudah berakhir.”
“Aku tidak ingin memintamu untuk melakukan sesuatu yang muluk-muluk. Aku hanya ingin meminta sebuah
Aleph Crystal darimu, Marcus, dan aku juga ingin meminjam salah satu bukumu. Tetapi aku tidak tahu
kapan aku selesai menggunakannya atau kapan aku bisa mengembalikannya padamu,” pintaku.
Pria berbaju merah itu mengangkat satu alisnya, “Boleh saja kau meminjam bukuku. Ambil dan pilihlah
sendiri di rak. Kuanggap itu sebagai permintaan maafku karena tidak bisa banyak membantumu. Aku
tidak mempermasalahkan kapan kau akan mengembalikannya. Tapi mengapa kau tidak meminta Aleph Crystal
dari Emillia saja?”
“Susah sekali membujuk Emillia. Aku harus memberi makan anak-anak gereja terlebih dahulu. Aku tidak
punya waktu lagi,” keluhku.
Marcus tertawa terbahak-bahak, “Hahaha. Emillia sangat menyayangi anak-anak gereja itu. Sayang
sekali, Halvar. Maafkan aku. Semua persediaanku diatur oleh Emillia. Kunci lemari penyimpananku
dipegang olehnya.”
“Tidak mengapa. Baiklah kalau begitu,” desahku, “Aku harus segera menyusulnya ke gereja. Aku tidak
punya banyak waktu.”
Aku melangkah menuju rak tempat Marcus memajang buku-buku koleksi kebanggaannya. Isi rak tersebut
adalah buku-buku kuno tentang sejarah Shiltz yang sebagian besar ditulisnya sendiri. Aku menemukan
sebuah buku tua yang tebal yang mengundang rasa ketertarikanku. Lambang Lion Knight, pasukan para
Knight terkuat di seluruh Shiltz, tercetak di sampul kulitnya yang berwarna biru. Aku
mengeluarkannya, meniup debu-debu yang menempel dan memasukkannya ke kantong jubah gipsyku.
“Sampai jumpa, Marcus,”
Ia melambaikan tangannya, “Sering-seringlah berkunjung kemari, Halvar. Aku sangat merindukanmu, juga
adikmu.”
“Bukankah kau lebih menyukai keheningan?”
“Ah! Kau benar. Tapi terkadang aku merasa kesepian,”
Aku menunduk, membetulkan letak tudung gipsyku dan berjalan keluar. Tiba-tiba seseorang menabrakku.
Badannya terhuyung ke samping dan aku dengan gesit *****ang tangannya, menariknya kembali berdiri.
Wanita berambut biru muda itu merintih, “Maafkan aku, Tuan Marcus!”
“Emillia!”
“Halvar! Kukira kau adalah Tuan Marcus!”
“Beruntung sekali aku menemuimu disini. Kupikir aku harus menyusulmu ke gereja,” kataku,
menghembuskan nafas lega.
“Kau masuk ke rumah Tuan Marcus tanpa seizinku? Berani sekali kau! Aku tidak peduli jika kau kawan
lama Tuan Marcus. Kau tetap harus membutuhkan izin dariku dulu!” bentaknya.
Aku menyentuh pundaknya, “Hei, tenang dulu. Dia sendiri yang menyuruhku masuk. Kau boleh bertanya
padanya jika kau tidak percaya.”
“Kulihat kau sudah bersiap-siap pulang. Kau bisa segera meninggalkan tempat ini,” ucap Emillia
ketus, mengambil barang-barang yang dijatuhkannya saat menabrakku.
“Hei, ayolah, aku ingin berbicara dengamu. Sebentar saja,” bujukku.
“Ada perlu apa?”
Aku memperlambat bicaraku, “Aku membutuhkan Aleph Crystal. Bisakah kau memberikanku satu buah saja?”
Wanita itu melipat tangannya di depan dadanya, “Aku sudah pernah memberikannya dahulu sekali
kepadamu.”
“Aku sudah menggunakannya dan aku membutuhkannya lagi,”
“Tapi kau harus membantuku memberi makan anak-anak gereja,” decak Emillia.
“Haruskah? Aku tidak punya waktu, Emillia. Lagipula kau baru saja kembali dari gereja. Mereka tidak
mungkin lapar lagi dalam waktu dekat,” elakku.
“Kau mau atau tidak? Jika tidak, menjauhlah dari rumah ini. Jika iya, sekarang pergilah ke gereja,”
Aku mendengus, “Baiklah.”
Aku berlalu pergi dari hadapannya dan berlari mengarah ke gereja Madelin. Tidak memerlukan waktu
yang lama untuk mencapai tempat itu. Aku memperkecil langkahku, meredam bunyi dentuman sepatu baja
merah Ultimateku. Bangunan gereja mulai terlihat dari kejauhan. Pagar setinggi dua meter
menyelubunginya. Cat temboknya berwarna coklat muda, sangat kontras jika dibandingkan dengan
gedung-gedung lain di kota ini yang bernuansa ceria. Dua panji-panji Kerajaan Elim berbordir lukisan
singa yang garang dengan sulaman benang merah dan emas ditancapkan di seberang lapangan, sedangkan
satu panji-panji dengan gambar elang yang gagah disandang dengan bangga oleh seorang knight dengan
baju zirah hitam keabu-abuan. Jantungku bergedup kencang. Aku menggosok-gosok mataku dengan tangan.
Apa aku salah lihat? Sejak kapan gereja Madelin memakai panji-panji kerajaan untuk menghiasi
lapangan mereka?
Tiga tentara kerajaan berkumpul di depan jendela segi lima berhiaskan ornamen-ornamen yang indah.
Mereka sedang berbincang-bincang dengan seorang perempuan berambut hijau panjang. Baju besi peraknya
berkilauan dibawah sinar senja yang temaram.
“Ezolt,” desisku.
Aku merangkak perlahan ke pagar batu dan merunduk di bawah pohon terdekat. Aku menatap Ezolt
seksama, mencoba menerka misi apa yang sedang ia emban. Tubuhnya bergerak-gerak gelisah seperti
mengetahui dirinya sedang diamati. Aku memfokuskan konsentrasiku sepenuhnya pada indra
pendengaranku.
“Aku sudah lama tidak melihat Nora,” tutur Ezolt.
Pria bertubuh gempal di samping Ezolt melanjutkan, “Apa kau sudah memeriksa rumahnya, Gael?”
“Jelas sudah, Felix. Aku sudah pergi ke rumahnya dan bertemu dengan adiknya. Adiknya berkata bahwa
Nora sedang bersama Tuan Caleb,” sambung lelaki yang membawa panji-panji Kerajaan Elim.
“Memangnya Tuan Caleb pergi kemana, Gael?” celetuk tentara yang paling muda.
Gael memperingatkan temannya, “Hus! Kita tidak boleh mencampuri urusan Tuan Caleb, Luce! Aku tidak
berani bertanya lebih tentang Tuan Caleb pada adiknya Nora. Sepertinya adiknya juga tidak tahu apa-
apa tentang Tuan Caleb.”
“Maaf,” sesal Luce, membuang muka.
“Karena Nora tidak terlihat batang hidungnya beberapa hari ini, aku yakin Nora juga pasti tidak tahu
dimana Tuan Halvar,” tebak Ezolt.
Felix menanggapinya, “Bagaimana jika Nora melihatnya sebelum Nora meninggalkan Madelin?”
Luce menimbrung dengan gaya sok tahu, “Tapi bisa saja Nora tidak tahu seperti apa rupa Tuan Halvar.
Tuan Halvar kan sudah lama mengembara tanpa kembali ke kerajaan.”
Gael menyodok pinggul Luce dengan ujung tongkat panji-panjinya, “Tidak mungkin, Luce. Nora sudah
sejak kecil diarahkan untuk bergabung dengan Lion Knight. Pasti Nora sudah mengenal rupa Tuan
Halvar. Dia tidak seperti kita.”
Celaka! Ternyata mereka memang benar ingin menangkapku. Aku harus cepat. Aku tidak punya waktu lagi.
Tapi bagaimana caranya aku memberi makan anak-anak gereja tanpa ketahuan? Ataukah aku menyerang lalu
mencuri saja Aleph Crystal itu dari Emillia? Ah, tidak. Menambah musuh disaat seperti adalah
tindakan yang tidak bijaksana.
Tiba-tiba seseorang memeluk pinggangku dari belakang. Aku mencengkeram tangan itu dan mencabut Spike
Swordku. Kupuntir tangannya.
“Sakit, Halvar,” serunya. Suaranya seperti suara anak-anak.
Aku melonjak kaget, “Lila! Sedang apa kau disini?”
“Ugh! Lihat bajuku robek gara-gara kamu!” rengeknya.
Baju gipsy dengan renda segitiga biru dan kuning yang dikenakan bocah itu berlubang panjang sekali
di bagian punggung. Potongannya tersangkut di pedangku. Topi kerucut khas gipsynya tergeletak di
tanah.
Aku menyerahkan topi dan robekan kain itu padanya, “Maafkan aku. Aku tidak bermaksud untuk…”
Lila membuat gerakan-gerakan yang lucu agar aku tertawa, “Tidak apa-apa, Halvar. Erantess bisa
menjahitkannya untukku nanti. Bagaimana kabarmu, Halvar? Aku senang sekali melihatmu disini. Aku
rindu sekali padamu.”
Aku mendekap mulutnya, “Stt… Pelankan suaramu, Lila! Aku sedang terburu-buru. Nanti saja kita
melanjutkan cerita kita, oke? Oh iya, mengapa kau disini? Kau antri tidak bersama yang lainnya di
dekat kuali masakan?”
“Aku sedang bermain petak umpet. Aku menunggu Erantess menyiapkan makan malam untuk kami. Aku malas
mengantri disana. Hari ini lama sekali makanan disajikan. Sepertinya ia kekurangan bahan makanan,”
“Kebetulan sekali, aku mempunyai bahan makanan sisa. Aku tidak bisa memberikannya pada Erantess
karena kakiku terkilir,” aku berbohong kepadanya, ”Maukah kau membantuku memasukkan ini ke dalam
panci?”
“Tapi kau temani aku bermain kembang api ya nanti?”
Aku mengacak-acak rambut pirangnya, “Tentu saja, Lila sayang.”
Lila meraup semua bahan masakan itu dan menari riang menuju juru masak gereja Madelin. Aku mencuri
pandang kearah para tentara tersebut. Mereka bertengkar hebat sekali.
“Kau ini terlalu bodoh, Luce! Aku heran mengapa Tuan Arus memilih orang bodoh sepertimu!” sindir
Gael, mencengkram bahu Luce.
Tentara yang paling muda itu menghentakkan tangan Gael, “Memangnya kau pikir dirimu sempurna? Aku
heran mengapa Tuan Arus memilih orang yang arogan sepertimu ini.”
“Hei, hei, sabar! Tenang dulu kalian berdua!” sahut Felix menengahi.
Ezolt turut melerai mereka, “Meskipun kota ini bebas, tolong hormati tempat yang suci ini.”
Aku memanfaatkan kesempatan ini untuk merayap ke sisi kanan gereja. Suara kayu yang terbakar
berderak-derak *****akkan telinga. Seorang juru masak mengaduk-aduk sebuah panci logam besar.
Wajahnya kumal dan keringat menetes dari pelipisnya.
“Erantess,” bisikku.
“Apakah kamu lapar?” tanya wanita itu tanpa memalingkan mukanya dari masakannya.
“Tidak,”
“Jika tidak, pergilah! Tidakkah kamu lihat aku sedang sibuk sekali? Apakah kamu tidak tahu aku
kekurangan tenaga bantuan untuk memasak untuk orang-orang yang berkumpul disini?”
“Stt… Jangan membentakku. Aku sudah membantumu tadi,”
“Apa? Kapan kau membantuku?” Erantess akhirnya menoleh, “Halvar!”
Aku terkekeh geli, “Halo, Erantess!”
Ia menyeretku ke balik pintu kayu besar, “Apa yang kau lakukan disini? Para tentara mencarimu! Juga
Ezolt!”
“Aku tahu. Sejak kapan mereka disini, Erantess?”
Juru masak itu memutar otaknya, “Mereka baru saja datang tadi pagi tetapi Ezolt sudah gelisah sejak
kemarin malam. Sepertinya ia mendengar berita itu terlebih dulu dari kerajaan sebelum kedatangan
para tentara.”
“Apa Ezolt yang memimpin misi kali ini?”
“Aku tidak tahu. Ezolt tidak menyinggung tentang hal itu. Sepertinya mereka berhati-hati untuk tidak
mengganggu aktivitas para clown. Mengapa kau kemari jika kau tahu mereka mengincarmu?”
“Aku membutuhkan Aleph Crystal. Emillia tidak mau memberiku jika aku tidak membantumu memasak. Aku
sudah sejak tadi bersembunyi dibalik pagar. Aku meminta bantuan Lila untuk memasukkan bahan-bahan
yang kubawa ke panci ini,”
“Oh, pantas saja. Ternyata itu kau. Aku lega rasanya. Kukira Lila mencuri bahan-bahan tersebut,”
“Lila tidak mungkin mencuri,” aku memutar bola mataku, “Aku tidak punya banyak waktu, Erantess. Aku
harus bergegas.”
Erantess mengiyakan, “Pergilah, Halvar. Aku akan mengatakan pada Emillia kau membantuku lagi kali
ini. Terima kasih.”
“Terima kasih itu seharusnya ditujukan padamu, bukan padaku. Sampai jumpa, Erantess. Semoga berkat
suci Yesod bersamamu. Oh, aku melupakan sesuatu. Tadi aku tidak sengaja merusakkan baju milik Lila,”
“Apa katamu? Kau bukannya meringankan pekerjaanku tapi menambahnya!”
Aku menjulurkan lidahku dan kembali merangkak ke balik pohon yang lebat. Mata Erantess mengawasiku
diam-diam. Aku mencuri dengar pembicaraan para tentara itu lagi.
“Aku mengerti. Kalau begitu, pulanglah kalian. Aku akan mengabari kalian jika aku melihat Tuan
Halvar,” perintah Ezolt, menyibakkan rambut hijaunya yang panjang.
“Kami memang ditugaskan disini, Ezolt, sampai Tuan Halvar ditemukan,” jelas Felix.
Cih! Kota ini sudah tidak aman lagi untukku. Aku harus segera mengambil Aleph Crystalku dan pergi
dari sini. Aku mundur beberapa langkah, bersiap melarikan diri sejauh mungkin pada hitungan ketiga.
Aku tidak menyadari bahwa Lila sedang berjongkok di belakangku. Kembang api sisa perayaan tahun baru
digenggamnya di tangannya yang mungil. Aku memutar badanku dan menerjangnya. Kami jatuh terjengkang,
terhempas ke bebatuan dibawahnya. Aku menimpa Lila. Bocah gipsy itu menjerit lalu menangis. Suaranya
melengking tinggi. Para tentara waspada.
Gael mengacungkan Mithril Swordnya, “Apa itu disana?”
“Bagaimana jika kita periksa?” saran Felix.
Ezolt mengendikkan kepalanya pada Luce, “Coba kau periksa, Luce!”
Aku mencoba bangkit tetapi kakiku berdenyut kesakitan dibalik baju besiku. Celaka!
Lanjut ke chapter 10 : Janji Masa Lalu
Seal Online Fanfiction by milkteddy © 2009
Fanfiction Heart of Sword SUMBER
0 komentar:
Posting Komentar