Fanfiction SEAL Online (Heart of Sword) Chapter 2: Cerita-Cerita
Home »
Cerpen
,
Fanfiction SEAL Online
,
seal online
,
Serba-serbi
» Fanfiction SEAL Online (Heart of Sword) Chapter 2: Cerita-Cerita
Cerita ini di adaptasi dari Seal Online yang berlatar belakang dunia Shiltz.
Chapter 2: Cerita-Cerita
Angin kencang berhembus di sepanjang jalan membuat rok kuning berbordir salib emas yang kukenakan di balik jubah gipsy tersibak. Langit tampaknya semakin memburuk seiring berjalannya waktu. Padahal, tadi pagi burung-burung berkicauan menari-nari diantara pepohonan yang rindang. Cepat sekali cuaca berganti. Apakah kami dapat mencapai tempat itu tepat waktu?
Sudah dua hari aku berjalan mengikuti Vyriel, seorang warrior yang dengan bangga menyandang Oriental Inviciblenya, tanpa tahu arah yang kutuju. Setiap kali ada kesempatan untuk bertanya, dia selalu menghindar menjawab kegelisahanku.
“Nanti kau akan tahu sendiri, Kana. Masa kau tidak ingat jalan ini? Kita dulu sering sekali melewati tempat ini.”
“Tidak, aku tidak ingat sama sekali tentang masa kecilku, Vyriel. Jangan kau coba mempermainkanku. Setiap waktu yang kupunya sangat berharga. Informasi tentang keberadaan kakakku bisa menguap begitu saja apabila kita tidak bergegas,” tegasku menegur pria itu.
Vyriel tersenyum, “Mungkin setelah ini, kau akan menarik kembali kata-katamu.”
Ia melenggang pergi mendahuluiku. Aku terdiam menggerutu, mengutuki angin-angin kencang disusul oleh hujan deras yang jatuh tidak lama kemudian.
“Kita harus berlindung,” sarannya.
“Buang-buang waktu saja. Aku dapat menyembuhkanmu jika kau sakit,” tolakku.
Warrior itu berdecak, “Aku tidak mempermasalahkan hujannya, Kana. Dan aku juga tahu bahwa kau sangat ahli dalam hal penyembuhan. Tetapi lihat anginnya. Alih-alih mempercepat, angin itu akan menerbangkan kita. Tidak hanya satu meter, mungkin lebih jauh.”
Aku mengendikkan kepalaku, merasa kalah. Vyriel menepi dan mencari-cari celah di tebing yang dapat digunakan untuk berteduh. Ia mematahkan beberapa ranting pohon yang masih memiliki daun-daun rimbun menempel kokoh pada kayunya, merangkainya sedemikian rupa menjadi sebuah payung. Aku duduk terheran-heran memandangi tangannya yang cekatan.
“Semoga ini dapat melindungi kita,” katanya, meletakkan anyaman itu di depanku, “Sayang sekali tidak ada mage, kita akan kedinginan malam ini. Aku tidak bisa membuat api hanya dengan memukulkan batu-batu berlumut itu.”
“Darimana kau mempelajari hal seperti itu?” tanyaku penasaran.
“Mempelajari apa?”
“Merangkai sulur-sulur itu.”
“Oh, payung ini? Caleb. Berteman dengannya ternyata tidak sia-sia.”
“Kupikir dia hanya berkutat dengan logam dan permata.”
“Hahaha, kayu termasuk dalam daftar kesukaannya. Kau pasti akan terkejut jika melihat guardiannya yang berbentuk kapal terbang,” tawanya sambil menepuk-nepuk pahanya.
“Ilmu kerajinan tangan seperti ini dipelajari dan diajarkan turun temurun di kaum kami. Setiap ibu yang dikaruniai seorang putri selalu mengajarkannya pada anaknya,” ceritaku.
Vyriel bergeser dan menoleh kepadaku, “Berarti kalau begitu kau juga bisa membuatnya?”
Aku menggeleng lesu, “Tidak.”
“Mengapa?”
“Ibuku meninggal saat aku tengah mempelajarinya.”
“Bukannya ibumu meninggal pada saat penyergapan di Hutan Kematian?”
“Tidak, ayahku memang gugur dalam perlawanan itu. Tetapi ibuku meninggal terlebih dahulu karena sakit. Jauh-jauh hari sebelum kami memutuskan pergi ke hutan itu.”
“Oh,” timpalnya, “Aku turut berduka.”
Aku mengelus-elus anyaman kasar itu, membayangkan ibuku dengan sabarnya mengajariku cara menghaluskan kayu sambil menyanyi. Aku rindu ibuku.
Suara Vyriel *****ah lamunanku, “Biarpun aku tidak terlalu pandai seperti Caleb, aku bisa mengajarimu kalau kau mau.”
“Tidak, aku telah bersumpah tidak akan menganyam lagi setelah kematian ibuku. Lagipula, ajaran kami berbeda dengan ajaranmu atau mungkin ajaran Caleb.”
“Apa yang berbeda? Bukankah hasilnya akan sama saja?”
“Mungkin sama bagimu, tapi tidak bagiku. Ada semacam proses penempaan yang harus dilakukan sebelum merangkai bahan-bahannya.”
Ia menaikkan sebelah alisnya, “Apakah kau senang menjadi seorang gipsy?”
“Tentu saja! Aku bahkan sangat menikmatinya,” seruku.
“Apa yang membuatmu berpikir begitu? Padahal kau selalu berpindah-pindah, tidak pernah menetap di suatu tempat. Bahkan terakhir kali kau menginap di Hutan Kematian. Tempat itu sangat menyeramkan. Dan itu terbukti dengan tercerai-berainya kelompok kalian. Dimana letak kesenangannya?”
Aku berpikir sejenak, berhati-hati dalam memilih kata, “Berada di suatu tempat dengan orang-orang yang kau sayangi, tidak peduli bahwa tempat itu sangat berbahaya, maka kau akan merasa aman, Vyriel.”
“Apa kau suka menginap di perkemahan Silon?” sambungnya.
“Kalau boleh jujur, maka aku akan mengatakan tidak.”
“Kalau kastilku di Elim? Tentu saja tidak ada yang tidak suka menginap di rumah para bangsawan.”
“Argumenmu itu terbukti tidak benar karena aku sama sekali tidak menyukainya. Lebih baik bersama para bale penghuni Hutan Kematian daripada terkurung dalam menara yang bertembok setebal 2 meter.”
“Apa kau menyayangiku?”
Mataku terbelalak, terkejut mendengar kalimat tersebut terucap dari bibirnya, “Tentu saja, Vyriel Lerevient. Mengapa kau bertanya seperti itu?”
“Kalau kau menyayangiku, maka kau akan merasa senang berada di Silon atau di kastilku. Bukan begitu, Kana? Kau berkata bahwa kau akan merasa aman jika kau berada di dekat dengan orang-orang yang kau kasihi.”
Mulutku menganga. Dia menjebakku.
“Kau meninggalkanku, Kana. Aku tidak menyangka kau akan pergi dengan para gipsy. Ibuku melarang ibumu. Ayahku juga demikian. Tapi kau dan keluargamu tetap bersikeras akan pergi meninggalkan kastil sekalipun Tuan Arus dan Nona Claire turun tangan membantu membujuk mereka,” tuturnya, memejamkan dan memijitnya matanya. Alisnya bertaut menjadi satu garis yang tebal di dahinya, “Kau juga tidak kembali mengunjungiku. Terakhir kali kau menengokku, kau tidak mengenaliku. Kau juga tidak mengenali Caleb. Kau tidak mau berbicara denganku maupun Cal. Kau membuang muka, sibuk bermain dengan Halvar. Tidak melepaskan satu langkah pun dari sisinya.”
Aku menahan napas sebisa mungkin. Takut jika aku mengeluarkannya dan kehilangan seluruh akal pikiranku karena emosi yang merebak. Pernyataan sepupuku itu menyakiti hatiku. Apakah aku seperti itu?
“Maafkan aku, Vyriel. Mungkin pada saat itu aku bingung melihat orang-orang yang sudah sekian lama tidak kutemui tiba-tiba muncul di hadapanku. Aku tidak tahu harus berkata apa saat bertemu denganmu ataupun bertemu dengan Cal. Aku takut menerima kenyataan bahwa kalian melupakanku. Aku takut pertemanan kita tidak sama seperti saat kita berpisah,” isakku sangat pelan.
“Dan ketakutanmu itu tidak terbukti kan, Kana?”
Mulutku mengatup dan membuka. Warrior itu mendekap lututnya erat-erat. Ia menyembunyikan wajahnya dibalik lengannya. Aku tidak tahu mengapa ia bertahan dalam posisi seperti itu. Apakah karena dingin yang merasuk sampai ke tulang, atau karena tidak ingin menitikkan air matanya di hadapanku? Perasaan bersalah segera menyelimutiku.
“Mengenai kepergianku, aku tidak bisa menolak keputusan ibu ataupun ayahku. Aku tidak bisa hidup terpisah dengan mereka. Kau juga tidak bisa hidup tanpa kedua orang tuamu bukan? Bahkan, ketika kami akan pergi, orang tuaku tidak memberitahuku bahwa aku akan pergi dengan para gipsy. Aku merajuk berbulan-bulan karena harus berpisah denganmu ataupun dengan Cal. Dan kuanggap kau dapat menerima penjelasanku ini.”
“Apakah ayah dan ibumu menceritakan mengapa mereka memutuskan bergabung dengan para gipsy dan meninggalkan kehidupan sempurna seorang bangsawan?”
“Ibuku pernah mengungkit sesuatu tentang pedang. Dia tidak pernah menceritakannya padaku secara gamblang. Aku mencari-cari petunjuk tetapi selalu menemukan jalan buntu. Sepertinya Halvar tahu mengenai ini, dia berjanji akan menceritakannya padaku setelah aku mengetahui sebagian besar dengan usahaku sendiri. Ia berjanji akan melengkapi hipotesisku dan membenarkannya.”
Vyriel tidak menjawab, tatapannya masih terpaku pada tanah dibawah lututnya, “Pedang dan gipsy. Bah! Aku tidak bisa mengerti jalan pikiran orangtuamu. Siapa yang mau melepaskan kehidupan seorang bangsawan hanya karena ingin mencari pedang? Tidak ada, Kana. Ada banyak beribu-ribu craftsman yang siap merelakan tenaganya untuk membuat pedangmu. Ada banyak knight atau warrior yang rela menyerahkan pedang dengan cuma-cuma kepadamu. Aku berani menjamin bahwa alasan orang tuamu tidak sesederhana itu.”
Vyriel menggaruk punggung tangannya yang tidak gatal, “Ah, lupakan saja. Anggap aku melantur dibawah pengaruh hujan yang tidak henti-hentinya ini.”
“Mungkin juga apa yang kau katakan itu ada benarnya juga. Maafkan aku sekali lagi, Vyriel. Seharusnya dari dulu kau menceritakan ini kepadaku sehingga tidak terjadi kesalahpahaman diantara kita. Kau mau kan memaafkanku?” rajukku.
“Bagaimana jika kau ceritakan aku tentang Halvar? Aku tidak begitu mengenalnya. Mungkin aku bisa membantu memahami pikirannya jika kau membeberkan sedikit rahasianya padaku dan kita bisa mencarinya.”
Aku memutar bola mataku, “Kau tahu aku tidak akan melakukan itu. Rahasia itu dipercayakan kepada seseorang bukan untuk dibeberkan, Vyriel.”
“Sedikit saja. Beri tahu apa yang bisa aku ketahui tanpa merugikan Halvar,” bujuknya.
“Hmm, dia suka sekali makan sayur yang ditumis setengah matang.”
Vyriel tertawa terbahak-bahak, “Bukan itu yang ingin aku ketahui, Kana. Contohnya seperti, apa hobinya? Apa yang dilakukannya akhir-akhir ini?”
“Dia selalu memoles Spike Swordnya setiap hari. Mengamati apakah ada goresan baru yang di dapatnya setelah berburu. Dia juga setiap pagi membaca buku tentang pedang yang ditulis langsung oleh smith-smith terkemuka di Zaid. Selain itu, dia juga sedang giat-giatnya mempelajari sejarah pedang di Shiltz. ”
“Tentu saja dia pergi ke Zaid. Disanalah semua pedang berkumpul,” timpal Vyriel termangut-mangut.
Beberapa saat kemudian hanya terdengar suara percikan air hujan yang menyentuh batu. Kami terlena dalam pikiran masing-masing. Apakah ayah meninggalkan suatu petunjuk untuk kakak? Apakah petunjuk itu berkaitan dengan pedang yang pernah diucapkan ibu? Mengapa ibu berkata sesuatu tentang pedang? Dimana aku bisa mencari informasi lagi agar Halvar bisa memenuhi janjinya padaku? Kaumku telah tiada, hanya tersisa beberapa diantaranya. Dimana aku bisa menemukan mereka yang tersisa untuk memberiku informasi? Aku mendongak kearah langit yang kelabu, “Hujan tampaknya tidak mereda, Vyriel, tetapi badai sudah berlalu. Lebih baik kita bergegas daripada membuang-buang waktu disini.”
“Ya, sepertinya kali ini kau benar,” sahutnya, berdiri dan menyeka great swordnya dengan bajunya yang basah. Di saat yang sama, aku mengibaskan jubah gipsyku dari tetesan hujan yang menempel dan menyampirkannya di atas bahuku, menyembunyikan Clothes of Saint yang kupakai.
“Kana, bisakah kau menungguku disini sebentar? Aku akan mencari beberapa ranting lagi agar aku bisa membuat satu payung lagi untukmu. Tidak ada ranting tebal lagi yang dapat kugunakan lagi disekitar sini.”
“Ya, aku tidak akan kemana-mana. Aku akan mencari tumbuhan-tumbuhan yang mungkin bisa kita makan diantara sesemakan ini.”
“Aku bertaruh kau tidak dapat menemukannya,” tawa Vyriel sambil berlari pergi.
Tidak mengacuhkannya, aku berjongkok meraba-raba sesemakan. Aku dapat merasakan senyum yang mengembang lebar di wajahku. Ha! Tentu saja aku bisa menemukannya, aku lebih berpengalaman dalam hal seperti ini. Tiba-tiba ada yang merengkuhku dari belakang, mendekap mulutku sambil menekan daggernya di leherku yang tidak terlindungi. Dia seorang wanita bertubuh mungil, aku bisa merasakannya dibalik punggungku. Tangannya halus dan dingin bak boneka porselen yang baru saja dipoles. Aku meronta sekuat tenaga tetapi tangan kecil itu bahkan tidak bergeser dari tempatnya. Celaka, dimana Saturn Maceku? Vyriel tolong aku!
“Hei wanita gipsy, jika kau ganggu Vyriel maka aku akan membunuhmu!” desisnya.
Lanjut ke chapter 3 : Pencerahan
Seal Online Fanfiction by milkteddy © 2009
Fanfiction Heart of Sword SUMBER
.
Chapter 2: Cerita-Cerita
Angin kencang berhembus di sepanjang jalan membuat rok kuning berbordir salib emas yang kukenakan di balik jubah gipsy tersibak. Langit tampaknya semakin memburuk seiring berjalannya waktu. Padahal, tadi pagi burung-burung berkicauan menari-nari diantara pepohonan yang rindang. Cepat sekali cuaca berganti. Apakah kami dapat mencapai tempat itu tepat waktu?
Sudah dua hari aku berjalan mengikuti Vyriel, seorang warrior yang dengan bangga menyandang Oriental Inviciblenya, tanpa tahu arah yang kutuju. Setiap kali ada kesempatan untuk bertanya, dia selalu menghindar menjawab kegelisahanku.
“Nanti kau akan tahu sendiri, Kana. Masa kau tidak ingat jalan ini? Kita dulu sering sekali melewati tempat ini.”
“Tidak, aku tidak ingat sama sekali tentang masa kecilku, Vyriel. Jangan kau coba mempermainkanku. Setiap waktu yang kupunya sangat berharga. Informasi tentang keberadaan kakakku bisa menguap begitu saja apabila kita tidak bergegas,” tegasku menegur pria itu.
Vyriel tersenyum, “Mungkin setelah ini, kau akan menarik kembali kata-katamu.”
Ia melenggang pergi mendahuluiku. Aku terdiam menggerutu, mengutuki angin-angin kencang disusul oleh hujan deras yang jatuh tidak lama kemudian.
“Kita harus berlindung,” sarannya.
“Buang-buang waktu saja. Aku dapat menyembuhkanmu jika kau sakit,” tolakku.
Warrior itu berdecak, “Aku tidak mempermasalahkan hujannya, Kana. Dan aku juga tahu bahwa kau sangat ahli dalam hal penyembuhan. Tetapi lihat anginnya. Alih-alih mempercepat, angin itu akan menerbangkan kita. Tidak hanya satu meter, mungkin lebih jauh.”
Aku mengendikkan kepalaku, merasa kalah. Vyriel menepi dan mencari-cari celah di tebing yang dapat digunakan untuk berteduh. Ia mematahkan beberapa ranting pohon yang masih memiliki daun-daun rimbun menempel kokoh pada kayunya, merangkainya sedemikian rupa menjadi sebuah payung. Aku duduk terheran-heran memandangi tangannya yang cekatan.
“Semoga ini dapat melindungi kita,” katanya, meletakkan anyaman itu di depanku, “Sayang sekali tidak ada mage, kita akan kedinginan malam ini. Aku tidak bisa membuat api hanya dengan memukulkan batu-batu berlumut itu.”
“Darimana kau mempelajari hal seperti itu?” tanyaku penasaran.
“Mempelajari apa?”
“Merangkai sulur-sulur itu.”
“Oh, payung ini? Caleb. Berteman dengannya ternyata tidak sia-sia.”
“Kupikir dia hanya berkutat dengan logam dan permata.”
“Hahaha, kayu termasuk dalam daftar kesukaannya. Kau pasti akan terkejut jika melihat guardiannya yang berbentuk kapal terbang,” tawanya sambil menepuk-nepuk pahanya.
“Ilmu kerajinan tangan seperti ini dipelajari dan diajarkan turun temurun di kaum kami. Setiap ibu yang dikaruniai seorang putri selalu mengajarkannya pada anaknya,” ceritaku.
Vyriel bergeser dan menoleh kepadaku, “Berarti kalau begitu kau juga bisa membuatnya?”
Aku menggeleng lesu, “Tidak.”
“Mengapa?”
“Ibuku meninggal saat aku tengah mempelajarinya.”
“Bukannya ibumu meninggal pada saat penyergapan di Hutan Kematian?”
“Tidak, ayahku memang gugur dalam perlawanan itu. Tetapi ibuku meninggal terlebih dahulu karena sakit. Jauh-jauh hari sebelum kami memutuskan pergi ke hutan itu.”
“Oh,” timpalnya, “Aku turut berduka.”
Aku mengelus-elus anyaman kasar itu, membayangkan ibuku dengan sabarnya mengajariku cara menghaluskan kayu sambil menyanyi. Aku rindu ibuku.
Suara Vyriel *****ah lamunanku, “Biarpun aku tidak terlalu pandai seperti Caleb, aku bisa mengajarimu kalau kau mau.”
“Tidak, aku telah bersumpah tidak akan menganyam lagi setelah kematian ibuku. Lagipula, ajaran kami berbeda dengan ajaranmu atau mungkin ajaran Caleb.”
“Apa yang berbeda? Bukankah hasilnya akan sama saja?”
“Mungkin sama bagimu, tapi tidak bagiku. Ada semacam proses penempaan yang harus dilakukan sebelum merangkai bahan-bahannya.”
Ia menaikkan sebelah alisnya, “Apakah kau senang menjadi seorang gipsy?”
“Tentu saja! Aku bahkan sangat menikmatinya,” seruku.
“Apa yang membuatmu berpikir begitu? Padahal kau selalu berpindah-pindah, tidak pernah menetap di suatu tempat. Bahkan terakhir kali kau menginap di Hutan Kematian. Tempat itu sangat menyeramkan. Dan itu terbukti dengan tercerai-berainya kelompok kalian. Dimana letak kesenangannya?”
Aku berpikir sejenak, berhati-hati dalam memilih kata, “Berada di suatu tempat dengan orang-orang yang kau sayangi, tidak peduli bahwa tempat itu sangat berbahaya, maka kau akan merasa aman, Vyriel.”
“Apa kau suka menginap di perkemahan Silon?” sambungnya.
“Kalau boleh jujur, maka aku akan mengatakan tidak.”
“Kalau kastilku di Elim? Tentu saja tidak ada yang tidak suka menginap di rumah para bangsawan.”
“Argumenmu itu terbukti tidak benar karena aku sama sekali tidak menyukainya. Lebih baik bersama para bale penghuni Hutan Kematian daripada terkurung dalam menara yang bertembok setebal 2 meter.”
“Apa kau menyayangiku?”
Mataku terbelalak, terkejut mendengar kalimat tersebut terucap dari bibirnya, “Tentu saja, Vyriel Lerevient. Mengapa kau bertanya seperti itu?”
“Kalau kau menyayangiku, maka kau akan merasa senang berada di Silon atau di kastilku. Bukan begitu, Kana? Kau berkata bahwa kau akan merasa aman jika kau berada di dekat dengan orang-orang yang kau kasihi.”
Mulutku menganga. Dia menjebakku.
“Kau meninggalkanku, Kana. Aku tidak menyangka kau akan pergi dengan para gipsy. Ibuku melarang ibumu. Ayahku juga demikian. Tapi kau dan keluargamu tetap bersikeras akan pergi meninggalkan kastil sekalipun Tuan Arus dan Nona Claire turun tangan membantu membujuk mereka,” tuturnya, memejamkan dan memijitnya matanya. Alisnya bertaut menjadi satu garis yang tebal di dahinya, “Kau juga tidak kembali mengunjungiku. Terakhir kali kau menengokku, kau tidak mengenaliku. Kau juga tidak mengenali Caleb. Kau tidak mau berbicara denganku maupun Cal. Kau membuang muka, sibuk bermain dengan Halvar. Tidak melepaskan satu langkah pun dari sisinya.”
Aku menahan napas sebisa mungkin. Takut jika aku mengeluarkannya dan kehilangan seluruh akal pikiranku karena emosi yang merebak. Pernyataan sepupuku itu menyakiti hatiku. Apakah aku seperti itu?
“Maafkan aku, Vyriel. Mungkin pada saat itu aku bingung melihat orang-orang yang sudah sekian lama tidak kutemui tiba-tiba muncul di hadapanku. Aku tidak tahu harus berkata apa saat bertemu denganmu ataupun bertemu dengan Cal. Aku takut menerima kenyataan bahwa kalian melupakanku. Aku takut pertemanan kita tidak sama seperti saat kita berpisah,” isakku sangat pelan.
“Dan ketakutanmu itu tidak terbukti kan, Kana?”
Mulutku mengatup dan membuka. Warrior itu mendekap lututnya erat-erat. Ia menyembunyikan wajahnya dibalik lengannya. Aku tidak tahu mengapa ia bertahan dalam posisi seperti itu. Apakah karena dingin yang merasuk sampai ke tulang, atau karena tidak ingin menitikkan air matanya di hadapanku? Perasaan bersalah segera menyelimutiku.
“Mengenai kepergianku, aku tidak bisa menolak keputusan ibu ataupun ayahku. Aku tidak bisa hidup terpisah dengan mereka. Kau juga tidak bisa hidup tanpa kedua orang tuamu bukan? Bahkan, ketika kami akan pergi, orang tuaku tidak memberitahuku bahwa aku akan pergi dengan para gipsy. Aku merajuk berbulan-bulan karena harus berpisah denganmu ataupun dengan Cal. Dan kuanggap kau dapat menerima penjelasanku ini.”
“Apakah ayah dan ibumu menceritakan mengapa mereka memutuskan bergabung dengan para gipsy dan meninggalkan kehidupan sempurna seorang bangsawan?”
“Ibuku pernah mengungkit sesuatu tentang pedang. Dia tidak pernah menceritakannya padaku secara gamblang. Aku mencari-cari petunjuk tetapi selalu menemukan jalan buntu. Sepertinya Halvar tahu mengenai ini, dia berjanji akan menceritakannya padaku setelah aku mengetahui sebagian besar dengan usahaku sendiri. Ia berjanji akan melengkapi hipotesisku dan membenarkannya.”
Vyriel tidak menjawab, tatapannya masih terpaku pada tanah dibawah lututnya, “Pedang dan gipsy. Bah! Aku tidak bisa mengerti jalan pikiran orangtuamu. Siapa yang mau melepaskan kehidupan seorang bangsawan hanya karena ingin mencari pedang? Tidak ada, Kana. Ada banyak beribu-ribu craftsman yang siap merelakan tenaganya untuk membuat pedangmu. Ada banyak knight atau warrior yang rela menyerahkan pedang dengan cuma-cuma kepadamu. Aku berani menjamin bahwa alasan orang tuamu tidak sesederhana itu.”
Vyriel menggaruk punggung tangannya yang tidak gatal, “Ah, lupakan saja. Anggap aku melantur dibawah pengaruh hujan yang tidak henti-hentinya ini.”
“Mungkin juga apa yang kau katakan itu ada benarnya juga. Maafkan aku sekali lagi, Vyriel. Seharusnya dari dulu kau menceritakan ini kepadaku sehingga tidak terjadi kesalahpahaman diantara kita. Kau mau kan memaafkanku?” rajukku.
“Bagaimana jika kau ceritakan aku tentang Halvar? Aku tidak begitu mengenalnya. Mungkin aku bisa membantu memahami pikirannya jika kau membeberkan sedikit rahasianya padaku dan kita bisa mencarinya.”
Aku memutar bola mataku, “Kau tahu aku tidak akan melakukan itu. Rahasia itu dipercayakan kepada seseorang bukan untuk dibeberkan, Vyriel.”
“Sedikit saja. Beri tahu apa yang bisa aku ketahui tanpa merugikan Halvar,” bujuknya.
“Hmm, dia suka sekali makan sayur yang ditumis setengah matang.”
Vyriel tertawa terbahak-bahak, “Bukan itu yang ingin aku ketahui, Kana. Contohnya seperti, apa hobinya? Apa yang dilakukannya akhir-akhir ini?”
“Dia selalu memoles Spike Swordnya setiap hari. Mengamati apakah ada goresan baru yang di dapatnya setelah berburu. Dia juga setiap pagi membaca buku tentang pedang yang ditulis langsung oleh smith-smith terkemuka di Zaid. Selain itu, dia juga sedang giat-giatnya mempelajari sejarah pedang di Shiltz. ”
“Tentu saja dia pergi ke Zaid. Disanalah semua pedang berkumpul,” timpal Vyriel termangut-mangut.
Beberapa saat kemudian hanya terdengar suara percikan air hujan yang menyentuh batu. Kami terlena dalam pikiran masing-masing. Apakah ayah meninggalkan suatu petunjuk untuk kakak? Apakah petunjuk itu berkaitan dengan pedang yang pernah diucapkan ibu? Mengapa ibu berkata sesuatu tentang pedang? Dimana aku bisa mencari informasi lagi agar Halvar bisa memenuhi janjinya padaku? Kaumku telah tiada, hanya tersisa beberapa diantaranya. Dimana aku bisa menemukan mereka yang tersisa untuk memberiku informasi? Aku mendongak kearah langit yang kelabu, “Hujan tampaknya tidak mereda, Vyriel, tetapi badai sudah berlalu. Lebih baik kita bergegas daripada membuang-buang waktu disini.”
“Ya, sepertinya kali ini kau benar,” sahutnya, berdiri dan menyeka great swordnya dengan bajunya yang basah. Di saat yang sama, aku mengibaskan jubah gipsyku dari tetesan hujan yang menempel dan menyampirkannya di atas bahuku, menyembunyikan Clothes of Saint yang kupakai.
“Kana, bisakah kau menungguku disini sebentar? Aku akan mencari beberapa ranting lagi agar aku bisa membuat satu payung lagi untukmu. Tidak ada ranting tebal lagi yang dapat kugunakan lagi disekitar sini.”
“Ya, aku tidak akan kemana-mana. Aku akan mencari tumbuhan-tumbuhan yang mungkin bisa kita makan diantara sesemakan ini.”
“Aku bertaruh kau tidak dapat menemukannya,” tawa Vyriel sambil berlari pergi.
Tidak mengacuhkannya, aku berjongkok meraba-raba sesemakan. Aku dapat merasakan senyum yang mengembang lebar di wajahku. Ha! Tentu saja aku bisa menemukannya, aku lebih berpengalaman dalam hal seperti ini. Tiba-tiba ada yang merengkuhku dari belakang, mendekap mulutku sambil menekan daggernya di leherku yang tidak terlindungi. Dia seorang wanita bertubuh mungil, aku bisa merasakannya dibalik punggungku. Tangannya halus dan dingin bak boneka porselen yang baru saja dipoles. Aku meronta sekuat tenaga tetapi tangan kecil itu bahkan tidak bergeser dari tempatnya. Celaka, dimana Saturn Maceku? Vyriel tolong aku!
“Hei wanita gipsy, jika kau ganggu Vyriel maka aku akan membunuhmu!” desisnya.
Lanjut ke chapter 3 : Pencerahan
Seal Online Fanfiction by milkteddy © 2009
Fanfiction Heart of Sword SUMBER
0 komentar:
Posting Komentar