Fanfiction SEAL Online (Heart of Sword) Chapter 5: Teman Lama

Home » , , , » Fanfiction SEAL Online (Heart of Sword) Chapter 5: Teman Lama
Cerita ini di adaptasi dari Seal Online yang berlatar belakang dunia Shiltz.


Chapter 5: Teman Lama

Aku mengerjapkan mataku, kagum akan keindahan bintang-bintang yang memenuhi langit-langit tenda. Apakah ini bintang sungguhan? Bagaimana dia bisa memasukkan benda langit seperti ini? Apakah ini hanya ilusi belaka? Apakah dia peramal sekaligus penyihir? Aku mencengkeram tangan Vyriel.

“Apakah kau takut?” tanyanya.

“Mengapa Caleb dan Nora tidak ikut masuk?”

“Mereka lebih suka mendengarkan cerita kita daripada menyaksikan secara langsung,”

“Silahkan. Lady Shina sudah menunggu kalian,” desak Nathan tidak sabar, bocah kecil penjaga pintu tenda sang peramal. Vyriel menyelipkan sebatang emas ke tangan Nathan dan bocah itu menepiskan kain tipis pembatas ruangan. Disana, seorang wanita duduk diatas kursi. Gaun satin putih gadingnya menyapu lantai.

“Aku adalah peramal yang mempunyai kekuatan sihir, jika pernyataanku ini dapat menjawab keherananmu, Kana Shevaunt,” kekehnya.

“Apa?” tanyaku tidak percaya. Bagaimana dia bisa mengetahuinya? Aku bahkan tidak mengatakan apa-apa.

“Tentu saja aku mengetahuinya,”

Tiba-tiba rasa panik melanda pikiranku. Peramal ini dapat membaca pikiranku!

“Sungguh menarik. Kakak dan adik yang sangat menarik,”

“Apa maksudmu?” tanyaku sekali lagi. Aku mulai menganggap peramal ini sedikit gila.

Vyriel menyodok rusukku dengan sikutnya yang besar, “Maafkan Kana, My Lady, dia anak yang tidak tahu sopan santun.”

Aku memukul pundak sepupuku. Lady Shina memergokiku sedang merajuk pada Vyriel, “Tidak mengapa, Vyriel. Ketidaksopanannya itu salah satu hal yang membuatku tertarik. Persis seperti kakaknya.”

“Kau memang murah hati, My Lady,” puji Vyriel.

Aku menggerutu. Mengapa anak ini begitu sopan pada wanita ini? Sungguh berbeda sekali caranya memperlakukan peramal ini.

“Karena aku pernah menyelamatkan nyawa Vyriel sekali, Kana,”

Bah! Bagaimana cara perempuan ini menyelamatkan Vyriel jika dirinya sendiri tidak bisa beranjak dari kursinya.

“Vyriel menanyakan beberapa pertanyaan kepadaku dan aku membimbingnya,”

Ups! Aku kelepasan bicara. Mulai saat ini aku tidak akan mempercayai pikiranku lagi.

“Dari tadi kau terus menerus menyebut tentang kakakku. Apakah kau pernah bertemu dengannya?” lanjutku.

“Kakakmu beberapa saat yang lalu baru saja kemari,” tutur Lady Shina.

Aku terkejut, “Apa yang dia lakukan? Apa yang dia tanyakan? Dan dimana dia sekarang?”

“Sesuatu mengenai masa lalunya,” imbuhnya.

“Apa itu?”

Vyriel kembali menyodokku. Aku tidak menghiraukannya.

“Setiap peramal mempunyai kewajiban untuk tidak menceritakan rahasia para pelanggannya. Benar bukan, Vyriel Lerevient?”

“Tentu saja, My Lady,” jawab Vyriel.

Sekarang giliranku menyodok Vyriel. Dia mengaduh kesakitan dan Lady Shina tertawa bak lonceng gereja Elim di hari Minggu, “Aku tidak bisa mengatakannya, Kana. Aku hanya bisa memberi sedikit petunjuk tentangnya.”

“Aku sudah bosan dengan petunjuk-petunjuk. Tak bisakah kau memberiku jawaban yang pasti?” paksaku.

Lady Shina tertawa sekali lagi, “Kau harus membiasakan diri dengannya, Kana.”

Aku mengalah, “Baiklah, katakanlah petunjuknya.”

“Zaid, semua yang kau butuhkan bermula darinya,”

“Apakah kakakku ada di Zaid sekarang?”

“Semua yang kau butuhkan bermula darinya,” ulang Lady Shina seraya membetulkan letak bola kristal sihir di pangkuannya.

Badanku bergetar menahan jengkel karena basa-basi yang terus dikeluarkan oleh peramal itu, “Apa yang kau maksud dengan semua yang aku butuhkan?”

“Semua yang kau butuhkan, Kana. Semuanya bermula dari Zaid,”

Bah! Bagaimana ia membimbing Vyriel hanya dengan satu petunjuk yang bahkan dia tidak sanggup menjelaskannya.

“Vyriel adalah orang yang cukup pintar untuk menebak petunjukku, Kana. Dan karena kau adalah saudaranya, maka aku yakin kau juga pasti dapat menebaknya juga,” tambahnya.

Aku mulai yakin bahwa peramal di depanku ini memang gila. Lady Shina mengangkat tangannya, memberi tanda pada Vyriel agar kami segera meninggalkan tendanya. Vyriel membungkuk dan menarikku pergi dari hadapan Lady Shina.
“Kali ini aku yang menang, Vyriel. Bertemu dengannya tidak membantuku sama sekali,” dengusku tanpa melepaskan mataku dari sepupuku.

Vyriel menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat, “Ya, mungkin kau benar.”

___________________

Aku mengerang ketika memasukkan kedua kakiku ke dalam sebuah baskom berisikan air panas. Air ini terlalu panas, tapi rasanya nyaman sekali. Aku melemaskan otot-otot kakiku. Sudah lama tidak memanjakan diri seperti ini. Kusandarkan kepalaku pada sofa yang empuk.

Nora menatapku puas, “Apakah kau lapar? Aku akan menyediakan makanan untukmu dan Vyriel.”

Aku menolak kebaikannya persis ketika perutku berbunyi keras sekali.

“Kau memang rendah hati, Kana. Tidak usah sungkan padaku. Mintalah apa saja yang kau butuhkan selama aku masih bisa memenuhinya,”

“Terima kasih, Nora. Aku tidak tahu bagaimana caraku untuk membalasnya nanti,”

Clown dihadapanku tertawa tepat saat Vyriel dan Caleb memasuki ruangan. Vyriel menyandang Oriental Inviciblenya yang kotor oleh lumpur sedangkan Caleb membawa sekeranjang roti dan buah-buahan.

“Hai, Kana. Apakah kau merasa nyaman?” tanya Caleb. Ia meletakkan keranjang makanan itu di meja kecil dekat sofa.

“Sangat nyaman, Caleb. Aku tidak bisa mendapatkan yang lebih baik dari ini,” jawabku.

Vyriel mengambil tempat disebelahku dan mulai membersihkan pedangnya dengan secarik kain yang lusuh.

Aku menoleh kepada Caleb, “Jadi, kau bertemu Halvar di Zaid, Caleb?”

“Ya,”

“Bagaimana? Ceritakanlah,” pintaku.

“Bukankah aku sudah menceritakannya di surat? Aku yakin kau juga sudah membacanya,” elak Caleb.

“Maksudku, ceritakanlah secara lengkap. Kau hanya menulis garis besarnya disana,”

“Ya. Aku juga ingin mendengarnya secara langsung darimu,” dukung Vyriel.

Caleb menarik sebuah kursi kayu di dekat perapian dan mendudukinya, “Hmm, aku bertemu dengannya saat aku dalam perjalanan pulang dari Goa Clement.”

Vyriel melepaskan pandangannya dari pedangnya kearah Caleb, “Apa yang kau lakukan di Goa Clement?”

“Seperti biasa. Aku mencari bahan-bahan untuk melengkapi pekerjaanku,” jelas craftsman itu.

Nora mengaduk-aduk isi perapian dan api menjalar-jalar semakin besar. Caleb melanjutkan ceritanya, “Halvar setengah berlari menuruni jalanan menuju pusat kota. Ia berbelok di rumah Albereo kalau aku tidak salah ingat. Ia tampak bercakap-cakap dengan Albereo sekilas. Aku terlambat memergokinya karena ia sudah berlari lagi dan aku tidak dapat mengejarnya.”

“Siapa Albereo?” selaku.

Nora mendekatiku dan menjawabnya, “Albereo adalah anak salah satu penempa pedang ternama di Zaid. Ayahnya, Fides, adalah penempa pedang Yami yang terkenal. Ia menempa pedang untuk Tuan Arus. Tetapi Albereo sangat tertutup, tidak seperti ayahnya. Ia hanya berbicara pada orang-orang tertentu saja.”

Caleb mengangguk membenarkan Nora, “Aku menghampiri Albereo dan bertanya padanya tapi dia terus saja diam dan terbatuk-batuk. Aku yakin bahwa dia hanya berpura-pura batuk.”

Vyriel tergelak, “Hahaha. Lucu sekali. Siapa penempa pedang di Zaid yang tidak mau berbicara dengan Caleb?”

Caleb melipat tangannya diatas dadanya, “Tetapi saat aku menanyainya, Albereo menolak berbicara kepadaku.”

“Ah, itu karena dia memang agak berbeda dengan yang lainnya, Caleb,” timpal Vyriel yang masih tergelak

Aku mengerutkan alisku. Aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan.

“Jadi, apa kata si peramal tentang Halvar, Kana?” tanya Nora.

“Tidak penting,” kataku singkat.

Nora tampak tidak percaya, “Sungguh?”

“Apa yang Lady Shina katakan?” sambung Caleb.

Aku mengulang petunjuk yang diberikan kepadaku, “Semua yang kubutuhkan bermula dari Zaid.”

“Semua yang kubutuhkan bermula dari Zaid,” gumam Vyriel.

“Itu sebuah teka-teki, Kana,” jelas Nora, “Semua perkataan Lady Shina adalah teka-teki yang harus dipecahkan. Sangat jarang sekali Lady Shina memberikan petunjuk tanpa teka-teki walaupun kita sudah sangat terdesak sekalipun.”

“Orang itu penuh basa-basi,” keluhku, “Sulit sekali mencerna perkataannya yang berliku-liku.”

Nora menumpukan wajahnya pada salah satu tangannya, “Kira-kira apa maksud perkataan Lady Shina?”

“Maksudnya adalah Lady Shina menyuruh kita untuk pergi ke Zaid,” koreksi Vyriel.

Caleb mengangkat bahunya, “Ada apa di Zaid? Aku sudah bertanya kepada sebagian besar penduduknya dan mereka semua mengatakan Halvar pergi beberapa hari yang lalu.”

“Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?” bisik Nora.

Vyriel beranjak, “Pergi ke Zaid, tentu saja. Semua yang dibutuhkan bermula dari Zaid. Entah apakah Halvar berada disana atau tidak, Lady Shina menyuruh kita pergi ke Zaid.”

Aku menghentakkan tangan Vyriel, memaksanya duduk, “Mengapa kita harus mengikuti perintahnya? Aku tidak mengerti.”

Vyriel memutar bola matanya, “Memangnya kau mempunyai pilihan lain, Kana?”

Nora menyetujuinya, “Ya. Ya. Kita tidak mempunyai pilihan lain.”

“Apakah Lady Shina benar-benar menyuruh kita pergi ke Zaid? Itu hanyalah sebuah teka-teki, Vyriel. Mungkin ada makna yang tersembunyi,” duga Caleb.

Vyriel berdecak tidak sabar, “Makna apa kalau begitu, Caleb?”

“Mungkin karena aku menemukan Halvar di Zaid. Kita melakukan pencarian karena informasiku tentang Halvar. Semua yang Kana butuhkan bermula dari Zaid. Pencarian kita bermula dari pertemuanku dengan Halvar di Zaid. Bukan karena Lady Shina meminta kita pergi ke Zaid.”

Nora menatap tunangannya dengan bingung, “Jadi?”

Vyriel mengalihkan matanya dari Caleb menuju Nora, lalu kembali kepada Caleb lagi, “Jadi?”

Aku menerka hipotesis Caleb, “Jadi, kita tetap akan pergi ke Zaid bukan? Entah kau yang menemukan atau Shina yang menyuruh kita, kita tetap akan pergi ke Zaid.”

“Ya,”

Nora mengerang, “Apa yang akan kita lakukan disana jika Caleb sudah bertanya kepada semua orang?”

Tidak ada yang menanggapi kegelisahan Nora. Suara kayu yang berderak-derak di perapian memenuhi ruangan yang hangat itu. Lalu bagaimana jika aku tidak menemukan Halvar di Zaid? Apa yang akan aku lakukan? Tidak ada satu orangpun yang melihatnya, maka aku tidak bisa meneruskan pencarianku. Apakah aku ditakdirkan untuk menunggu dirinya kastil begitu saja tanpa melakukan apa-apa?

Aku mendorong baskom air panas, menaikkan kedua kakiku dan menyelipkan kepalaku diantaranya.

Vyriel memastikan, “Siapa saja lebih tepatnya orang-orang yang kau tanyai, Caleb?”

“May, Olsen, Rikon, Fides, Lilia, Easter,” Caleb menelan air liurnya, “Cane dan Albereo.”

“Cane mau berbicara denganmu?” tanya Vyriel. Aku melihat ekspresi terkejut sekilas yang ia coba tutupi di raut wajahnya. Nora berpindah dari sisiku ke sisi Caleb. Mengacak-acak rambut hitamnya dan menyemangatinya.

“Yeah,” jawab nya enteng.

Nora menangkap keraguanku dan menjelaskannya, “Dulu Caleb berjanji pada Cane untuk menemuinya di Tambang Tertutup. Tetapi Caleb tidak menepatinya sehingga Cane marah besar kepadanya.”

Aku mengerucutkan mulutku hingga membentuk huruf “O” besar, tanda mengerti.
“Mereka tidak menjawabmu, Caleb, karena mungkin mereka mengira kau akan mencelakai Halvar atau semacamnya. Mungkin mereka mengira sangat jarang seorang bangsawan terpandang sepertimu mencari seorang gipsy pengembara,” sergahku kemudian.

Mata Vyriel mengerjap, “Kau benar. Bagaimana jika kita biarkan Kana bertanya kepada mereka sendiri sedangkan kita bersembunyi dibelakang? Pasti mereka mengira dia sedang mencari temannya dan pasti akan membantunya. Tidak ada yang tahu bahwa Kana seorang bangsawan bagaimanapun juga.”

Mulutku menganga tetapi aku menyukai idenya. Toh hanya bertanya saja tidak menjadi masalah bagiku. Aku mencuri pandang kearah Caleb dan Nora yang tertegun.

Nora menyunggingkan sebuah senyuman, “Well, kalau begitu keputusan sudah diambil.”

Lanjut ke chapter 6 : Rindu yang Tak Terbendung
Seal Online Fanfiction by milkteddy © 2009
Fanfiction Heart of Sword SUMBER
.
Share this article :