Fanfiction SEAL Online (Heart of Sword) Chapter 6: Rindu yang Tak Terbendung
Home »
Cerpen
,
Fanfiction SEAL Online
,
seal online
,
Serba-serbi
» Fanfiction SEAL Online (Heart of Sword) Chapter 6: Rindu yang Tak Terbendung
Cerita ini di adaptasi dari Seal Online yang berlatar belakang dunia Shiltz.
Chapter 6: Rindu yang Tak Terbendung
Aku memainkan bunga peony putih disela-sela jariku, merasa bosan. Sudah tiga jam aku menanti
seseorang yang tak kunjung terlihat batang hidungnya. Kuamati satu-satu penduduk kota yang berada di
bar terbuka ini. Seorang kakek tua duduk di kursi goyang. Suara berdecit pelan timbul dari kursinya.
Ia bertumpu pada tongkat tua yang dipegangnya erat-erat. Ia sedang berbicara dengan nenek di
hadapannya. Aku mengalihkan pandanganku kepada nenek itu. Ia bertubuh gempal dan tampak murung. Ia
menunjuk seorang bocah kecil di seberang meja, yang kuduga adalah cucunya yang nakal.
“Hei, Halvar. Mengapa kau tidak pergi ke rumah Gunrett saja dan menghampirinya?” tanya seorang
penjaga bar yang rupawan.
Aku mendongak dan mengeluh, “Tidak bisa, Wid. Kau tahu Dean akan membunuhku jika aku menemui
putrinya secara terang-terangan.”
“Hahaha,” tawanya. Ia menyodorkan sebotol vodka kepadaku, “Tetapi seluruh penduduk kota Sevis sudah
mengetahui hubunganmu dengan Gunrett. Aku tidak tahu mengapa Dean mencoba menutupinya.”
“Yeah,” desahku, meneguk bir yang ia berikan, “Ia sangat menyayangi Gunrett.”
“Kau benar. Omong-omong, aku dengar kelompokmu diserang di Hutan Kematian. Maukah kau
menceritakannya padaku?” pintanya, mengganti topik pembicaraan.
“Darimana kau mengetahuinya?”
“Gosip dari Elim. Beberapa penduduk Elim kemari seminggu yang lalu. Mereka menyebarkan rumor tentang
ksatria-ksatria Silon yang kembali dari Hutan Kematian,”
Aku menimbang-nimbang. Wid buru-buru mengoreksi permintaannya, “Tetapi jika itu menyinggung
perasaanmu, lebih baik kau menolaknya.”
“Ah, itu bukan sesuatu yang tidak pantas dibicarakan,” sergahku. Aku meletakkan botol vodka yang
kosong kemudian meraih sepotong biskuit kacang.
“Beberapa bulan yang lalu, ketua kami ingin menjelajahi Hutan Kematian. Ia mendengar bahwa disana
ada kelompok gipsy yang menetap disana. Kaum gipsy yang menetap adalah sesuatu hal yang tidak wajar
bagi kami, apalagi Hutan Kematian adalah tempat yang berbahaya,” ceritaku dengan suara yang tidak
jelas karena sibuk mengunyah biskuit.
“Kaum kami terdiri dari beberapa keluarga. Ketua kami tidak mengharuskan kami semua untuk ikut. Ia
hanya ingin beberapa keluarga saja yang cukup berani untuk ikut dengannya. Dan ayahku menawarkan
diri menjadi salah satunya karena ia menilai bahwa aku dan Kana sudah cukup besar untuk melindungi
diri sendiri,” lanjutku.
“Ketika kami sampai disana, kami menemukan tenda-tenda gipsy berdiri. Tetapi kami tidak menemukan
siapapun disana. Tenda-tenda itu tidak terawat dan tampak ditinggalkan oleh penghuninya. Hanya ada
dua kemungkinan yang dapat kami ambil. Mereka sudah mati atau mereka menyadari bahwa tindakan mereka
bodoh dan pergi,”
Wid menyelaku, “Apa yang kau lakukan setelahnya?”
“Hari itu sudah malam. Sangat-sangat larut. Kami tidak punya pilihan lain selain bermalam di tenda-
tenda usang itu. Kemudian, Kana menemukan tetesan-tetesan darah di kasur gantung di salah satu
tenda. Kami memperkirakan umur darah itu sudah lama sekali. Sudah mengering menjadi kerak. Kami
menduga darah itu berasal dari gipsy yang diserang saat mereka tengah tertidur. Kami memutuskan
untuk tetap terjaga sepanjang malam biarpun akibatnya stamina kami menurun. Dan memang benar, para
bale menyerang kami tepat tengah malam,”
“Berapa orang yang selamat dalam pertarungan itu?”
“Hanya aku dan Kana,” sungutku.
Wid tersentak kaget, “Apakah jumlahnya begitu banyak?”
“Sangat,” tekanku.
“Dan bagaimana kau dan Kana bisa melarikan diri?”
“Kana berlari duluan dan aku melindunginya dari belakang. Membunuh monster-monster yang mengejarnya.
Kau tahu, perisaiku sangat kuat,” godaku.
Wid masih mengerutkan alisnya. Ia membuka mulut akan melontarkan pertanyaan-pertanyaan lagi tetapi
ia mengurungkan niatnya. Seseorang menyentuh bahuku.
“Halo, Halvar. Halo, Wid,” sapanya. Ia mengambil kursi dan menempatkannya disebelahku.
“Halo, Gunrett,” balas Wid, “Kau ingin minum sesuatu?”
“Tidak. Terima kasih,” tolaknya.
Penjaga bar itu mengedipkan sebelah matanya padaku lalu ia pergi untuk memberiku sedikit privasi
agar aku bisa berduaan dengan Gunrett. Aku memutar badanku dan menggenggam tangannya yang halus.
“Gunrett,” bisikku pelan.
“Halvar,” desahnya. Ia mencondongkan tubuhnya lebih dekat. Aku memeluknya dengan sebelah tanganku.
“Maafkan aku. Aku terlambat,” tuturnya, “Aku harus menjaga Jimmy. Ia demam. Aku tidak bisa
meninggalkannya sendirian.”
“Lantas, kau membiarkannya sendiri dan menemuiku disini? Aku tidak keberatan kau tidak menepati
janjimu,”
“Nenek Sistine menawarkan dirinya menjaga Jimmy. Sebentar. Sebentar saja katanya,”
“Aku tidak akan lama,” janjiku, “Bagaimana kabar Dean?”
“Baik. Seperti biasa ia tetap bersemangat mengerjakan kebunnya,”
“Baguslah kalau begitu,”
Aku mempererat pelukanku. Kucium keningnya, berlama-lama menikmati harum rambut pirangnya yang
wangi. Aku menyerahkan bunga peony yang kusimpan untuknya. Ia memandangi bunga itu, menyunggingkan
senyumnya.
“Terima kasih, Halvar. Aku tidak membawa apa-apa untukmu. Aku sangat terburu-buru,”
“Aku mengerti,” timpalku. Aku menatap matanya lekat-lekat, menghembuskan udara di hidungnya dan
menyentuhkan bibirku di dagunya. Wanita itu dengan tidak sabar melumat bibirku.
Aku tidak memperdulikan orang-orang yang menontonku sampai Wid berdeham keras, memperingatiku. Oh!
Aku sudah melewati batas. Aku menarik wajahku dari wajahnya.
“Ada apa?” desaknya.
Aku tidak dapat berkonsentrasi karena kehadirannya, “Hmm?”
Gunrett menyisir rambutku dengan jarinya, “Ada apa kau kemari, Halvar?”
“Aku sangat rindu sekali padamu,” ujarku.
Ia menunduk, menurunkan tanganku dari genggamannya, “Aku pun begitu, Halvar.”
“Ada apa, Gunrett? Kau tidak suka aku disini?” tanyaku, takut menyakiti hatinya.
“Bukan begitu. Kau bilang kau akan pergi jauh untuk beberapa waktu dan tidak akan menemuiku,”
dengusnya, “Tetapi sekarang kau disini, di hadapanku. Bagiku ini tampak sangat tidak nyata. Aku
seperti bermimpi kau ada disini. Aku sangat merindukanmu tetapi aku juga sangat kesal denganmu.
Kupikir kau akan pergi beberapa tahun baru akan kembali,”
“Maafkan aku, Gunrett. Aku terpaksa datang kemari. Aku butuh seseorang yang bisa aku ajak bicara.
Aku selama ini hidup bersembunyi terus menerus. Aku benar-benar butuh seseorang yang bisa aku ajak
bicara tanpa ada yang perlu ditutup-tutupi,”
“Memangnya ada apa, Halvar?”
Aku melepaskan pelukanku, “Aku kehilangan Kana.”
“Apa?” sahutnya tidak percaya.
“Aku kehilangan Kana,” ulangku, “Beberapa hari yang lalu.”
Gunrett tergagap, “Ba.. Bagaimana bisa?”
“Aku memintanya tinggal di rumah pamanku sementara aku pergi mengembara,” jelasku, “Tetapi ketika
aku kembali untuk menengoknya, ia tidak ada disana,”
“Apa kau sudah bertanya kepada pamanmu?”
“Tidak. Aku memutuskan tidak menemuinya secara terang-terangan. Aku hanya ingin melihatnya sekilas.
Memastikannya bahwa dia aman selama di kastil. Seharusnya aku tahu bahwa Kana tidak menyukai tinggal
di kastil. Seharusnya aku tidak meninggalkannya disana sendirian,” sesalku.
Perempuan itu mengelus-elus pipiku, tanda turut berduka, “Mengapa kau tidak bertanya pada pamanmu?
Mungkin saja Kana hanya berjalan-jalan sebentar. Aku yakin pasti pamanmu menjaganya dengan sepenuh
hati. Lagipula Bibi Sofia sangat murah hati. Ia tentu tidak akan membiarkan sesuatu menimpa adikmu.”
Aku menggeleng, “Tidak. Tidak bisa, Gunrett. Jika aku bertanya kepada Paman Adalmar maka ia akan
mengetahui bahwa aku berada di Elim. Jika benar Kana tidak melarikan diri, ia pasti akan menyusulku
dan memaksaku untuk ikut bersamaku. Aku tidak ingin ia mengetahuinya. Belum, belum saatnya. Maka
dari itu aku bersembunyi darinya dan dari siapapun.”
“Tapi kau ada disini. Kau tidak bersembunyi, Halvar. Bagaimana jika mereka kemari dan bertanya?”
bantahnya.
“Maksudmu?”
“Jika mereka dapat melacak jejakmu dan menemuiku untuk bertanya tentang dimana keberadaanmu. Aku
harus menjawab apa?”
“Aku percaya padamu, Gunrett. Juga pada Wid,” imbuhku seraya menarik Gunrett kembali ke dalam
dekapanku, “Aku tidak dapat menahan keinginanku untuk bertemu denganmu. Tidak bisa.”
“Akupun juga begitu, Halvar. Apa yang akan kau lakukan setelah ini?” tanyanya was-was.
“Aku akan tetap berkelana tanpa memedulikan kegelisahanku menanyakan dimana Kana sekarang. Aku yakin
ia baik-baik saja tanpaku. Ia gadis yang tangguh,” kataku meyakinkan diriku sendiri.
“Semoga kau mengambil keputusan yang tepat, Halvar. Aku akan selalu mendukungmu,”
Wanita itu membelai wajahku dengan kedua tangannya yang lembut dan melanjutkan ciuman kami yang
sempat terputus.
Lanjut ke chapter 7 : Perburuan Dimulai
Seal Online Fanfiction by milkteddy © 2009
Fanfiction Heart of Sword SUMBER
.
Chapter 6: Rindu yang Tak Terbendung
Aku memainkan bunga peony putih disela-sela jariku, merasa bosan. Sudah tiga jam aku menanti
seseorang yang tak kunjung terlihat batang hidungnya. Kuamati satu-satu penduduk kota yang berada di
bar terbuka ini. Seorang kakek tua duduk di kursi goyang. Suara berdecit pelan timbul dari kursinya.
Ia bertumpu pada tongkat tua yang dipegangnya erat-erat. Ia sedang berbicara dengan nenek di
hadapannya. Aku mengalihkan pandanganku kepada nenek itu. Ia bertubuh gempal dan tampak murung. Ia
menunjuk seorang bocah kecil di seberang meja, yang kuduga adalah cucunya yang nakal.
“Hei, Halvar. Mengapa kau tidak pergi ke rumah Gunrett saja dan menghampirinya?” tanya seorang
penjaga bar yang rupawan.
Aku mendongak dan mengeluh, “Tidak bisa, Wid. Kau tahu Dean akan membunuhku jika aku menemui
putrinya secara terang-terangan.”
“Hahaha,” tawanya. Ia menyodorkan sebotol vodka kepadaku, “Tetapi seluruh penduduk kota Sevis sudah
mengetahui hubunganmu dengan Gunrett. Aku tidak tahu mengapa Dean mencoba menutupinya.”
“Yeah,” desahku, meneguk bir yang ia berikan, “Ia sangat menyayangi Gunrett.”
“Kau benar. Omong-omong, aku dengar kelompokmu diserang di Hutan Kematian. Maukah kau
menceritakannya padaku?” pintanya, mengganti topik pembicaraan.
“Darimana kau mengetahuinya?”
“Gosip dari Elim. Beberapa penduduk Elim kemari seminggu yang lalu. Mereka menyebarkan rumor tentang
ksatria-ksatria Silon yang kembali dari Hutan Kematian,”
Aku menimbang-nimbang. Wid buru-buru mengoreksi permintaannya, “Tetapi jika itu menyinggung
perasaanmu, lebih baik kau menolaknya.”
“Ah, itu bukan sesuatu yang tidak pantas dibicarakan,” sergahku. Aku meletakkan botol vodka yang
kosong kemudian meraih sepotong biskuit kacang.
“Beberapa bulan yang lalu, ketua kami ingin menjelajahi Hutan Kematian. Ia mendengar bahwa disana
ada kelompok gipsy yang menetap disana. Kaum gipsy yang menetap adalah sesuatu hal yang tidak wajar
bagi kami, apalagi Hutan Kematian adalah tempat yang berbahaya,” ceritaku dengan suara yang tidak
jelas karena sibuk mengunyah biskuit.
“Kaum kami terdiri dari beberapa keluarga. Ketua kami tidak mengharuskan kami semua untuk ikut. Ia
hanya ingin beberapa keluarga saja yang cukup berani untuk ikut dengannya. Dan ayahku menawarkan
diri menjadi salah satunya karena ia menilai bahwa aku dan Kana sudah cukup besar untuk melindungi
diri sendiri,” lanjutku.
“Ketika kami sampai disana, kami menemukan tenda-tenda gipsy berdiri. Tetapi kami tidak menemukan
siapapun disana. Tenda-tenda itu tidak terawat dan tampak ditinggalkan oleh penghuninya. Hanya ada
dua kemungkinan yang dapat kami ambil. Mereka sudah mati atau mereka menyadari bahwa tindakan mereka
bodoh dan pergi,”
Wid menyelaku, “Apa yang kau lakukan setelahnya?”
“Hari itu sudah malam. Sangat-sangat larut. Kami tidak punya pilihan lain selain bermalam di tenda-
tenda usang itu. Kemudian, Kana menemukan tetesan-tetesan darah di kasur gantung di salah satu
tenda. Kami memperkirakan umur darah itu sudah lama sekali. Sudah mengering menjadi kerak. Kami
menduga darah itu berasal dari gipsy yang diserang saat mereka tengah tertidur. Kami memutuskan
untuk tetap terjaga sepanjang malam biarpun akibatnya stamina kami menurun. Dan memang benar, para
bale menyerang kami tepat tengah malam,”
“Berapa orang yang selamat dalam pertarungan itu?”
“Hanya aku dan Kana,” sungutku.
Wid tersentak kaget, “Apakah jumlahnya begitu banyak?”
“Sangat,” tekanku.
“Dan bagaimana kau dan Kana bisa melarikan diri?”
“Kana berlari duluan dan aku melindunginya dari belakang. Membunuh monster-monster yang mengejarnya.
Kau tahu, perisaiku sangat kuat,” godaku.
Wid masih mengerutkan alisnya. Ia membuka mulut akan melontarkan pertanyaan-pertanyaan lagi tetapi
ia mengurungkan niatnya. Seseorang menyentuh bahuku.
“Halo, Halvar. Halo, Wid,” sapanya. Ia mengambil kursi dan menempatkannya disebelahku.
“Halo, Gunrett,” balas Wid, “Kau ingin minum sesuatu?”
“Tidak. Terima kasih,” tolaknya.
Penjaga bar itu mengedipkan sebelah matanya padaku lalu ia pergi untuk memberiku sedikit privasi
agar aku bisa berduaan dengan Gunrett. Aku memutar badanku dan menggenggam tangannya yang halus.
“Gunrett,” bisikku pelan.
“Halvar,” desahnya. Ia mencondongkan tubuhnya lebih dekat. Aku memeluknya dengan sebelah tanganku.
“Maafkan aku. Aku terlambat,” tuturnya, “Aku harus menjaga Jimmy. Ia demam. Aku tidak bisa
meninggalkannya sendirian.”
“Lantas, kau membiarkannya sendiri dan menemuiku disini? Aku tidak keberatan kau tidak menepati
janjimu,”
“Nenek Sistine menawarkan dirinya menjaga Jimmy. Sebentar. Sebentar saja katanya,”
“Aku tidak akan lama,” janjiku, “Bagaimana kabar Dean?”
“Baik. Seperti biasa ia tetap bersemangat mengerjakan kebunnya,”
“Baguslah kalau begitu,”
Aku mempererat pelukanku. Kucium keningnya, berlama-lama menikmati harum rambut pirangnya yang
wangi. Aku menyerahkan bunga peony yang kusimpan untuknya. Ia memandangi bunga itu, menyunggingkan
senyumnya.
“Terima kasih, Halvar. Aku tidak membawa apa-apa untukmu. Aku sangat terburu-buru,”
“Aku mengerti,” timpalku. Aku menatap matanya lekat-lekat, menghembuskan udara di hidungnya dan
menyentuhkan bibirku di dagunya. Wanita itu dengan tidak sabar melumat bibirku.
Aku tidak memperdulikan orang-orang yang menontonku sampai Wid berdeham keras, memperingatiku. Oh!
Aku sudah melewati batas. Aku menarik wajahku dari wajahnya.
“Ada apa?” desaknya.
Aku tidak dapat berkonsentrasi karena kehadirannya, “Hmm?”
Gunrett menyisir rambutku dengan jarinya, “Ada apa kau kemari, Halvar?”
“Aku sangat rindu sekali padamu,” ujarku.
Ia menunduk, menurunkan tanganku dari genggamannya, “Aku pun begitu, Halvar.”
“Ada apa, Gunrett? Kau tidak suka aku disini?” tanyaku, takut menyakiti hatinya.
“Bukan begitu. Kau bilang kau akan pergi jauh untuk beberapa waktu dan tidak akan menemuiku,”
dengusnya, “Tetapi sekarang kau disini, di hadapanku. Bagiku ini tampak sangat tidak nyata. Aku
seperti bermimpi kau ada disini. Aku sangat merindukanmu tetapi aku juga sangat kesal denganmu.
Kupikir kau akan pergi beberapa tahun baru akan kembali,”
“Maafkan aku, Gunrett. Aku terpaksa datang kemari. Aku butuh seseorang yang bisa aku ajak bicara.
Aku selama ini hidup bersembunyi terus menerus. Aku benar-benar butuh seseorang yang bisa aku ajak
bicara tanpa ada yang perlu ditutup-tutupi,”
“Memangnya ada apa, Halvar?”
Aku melepaskan pelukanku, “Aku kehilangan Kana.”
“Apa?” sahutnya tidak percaya.
“Aku kehilangan Kana,” ulangku, “Beberapa hari yang lalu.”
Gunrett tergagap, “Ba.. Bagaimana bisa?”
“Aku memintanya tinggal di rumah pamanku sementara aku pergi mengembara,” jelasku, “Tetapi ketika
aku kembali untuk menengoknya, ia tidak ada disana,”
“Apa kau sudah bertanya kepada pamanmu?”
“Tidak. Aku memutuskan tidak menemuinya secara terang-terangan. Aku hanya ingin melihatnya sekilas.
Memastikannya bahwa dia aman selama di kastil. Seharusnya aku tahu bahwa Kana tidak menyukai tinggal
di kastil. Seharusnya aku tidak meninggalkannya disana sendirian,” sesalku.
Perempuan itu mengelus-elus pipiku, tanda turut berduka, “Mengapa kau tidak bertanya pada pamanmu?
Mungkin saja Kana hanya berjalan-jalan sebentar. Aku yakin pasti pamanmu menjaganya dengan sepenuh
hati. Lagipula Bibi Sofia sangat murah hati. Ia tentu tidak akan membiarkan sesuatu menimpa adikmu.”
Aku menggeleng, “Tidak. Tidak bisa, Gunrett. Jika aku bertanya kepada Paman Adalmar maka ia akan
mengetahui bahwa aku berada di Elim. Jika benar Kana tidak melarikan diri, ia pasti akan menyusulku
dan memaksaku untuk ikut bersamaku. Aku tidak ingin ia mengetahuinya. Belum, belum saatnya. Maka
dari itu aku bersembunyi darinya dan dari siapapun.”
“Tapi kau ada disini. Kau tidak bersembunyi, Halvar. Bagaimana jika mereka kemari dan bertanya?”
bantahnya.
“Maksudmu?”
“Jika mereka dapat melacak jejakmu dan menemuiku untuk bertanya tentang dimana keberadaanmu. Aku
harus menjawab apa?”
“Aku percaya padamu, Gunrett. Juga pada Wid,” imbuhku seraya menarik Gunrett kembali ke dalam
dekapanku, “Aku tidak dapat menahan keinginanku untuk bertemu denganmu. Tidak bisa.”
“Akupun juga begitu, Halvar. Apa yang akan kau lakukan setelah ini?” tanyanya was-was.
“Aku akan tetap berkelana tanpa memedulikan kegelisahanku menanyakan dimana Kana sekarang. Aku yakin
ia baik-baik saja tanpaku. Ia gadis yang tangguh,” kataku meyakinkan diriku sendiri.
“Semoga kau mengambil keputusan yang tepat, Halvar. Aku akan selalu mendukungmu,”
Wanita itu membelai wajahku dengan kedua tangannya yang lembut dan melanjutkan ciuman kami yang
sempat terputus.
Lanjut ke chapter 7 : Perburuan Dimulai
Seal Online Fanfiction by milkteddy © 2009
Fanfiction Heart of Sword SUMBER
0 komentar:
Posting Komentar