Fanfiction SEAL Online (Heart of Sword) Chapter 3: Pencerahan

Home » , , , » Fanfiction SEAL Online (Heart of Sword) Chapter 3: Pencerahan
Cerita ini di adaptasi dari Seal Online yang berlatar belakang dunia Shiltz.

Chapter 3: Pencerahan


Suara genderang yang disertai terompet-terompet bergemuruh dari dalam kota, terdengar begitu jelas. Bangunan dengan berbagai bentuk tampak tinggi menjulang dari balik tembok batas kota. Aku mendongak keatas, memandang kota itu dengan penuh takjub. Madelin, sudah bertahun-tahun aku tidak kemari. Tetapi biarpun begitu, kota ini masih dapat membuatku takjub dengan warna-warnanya yang beragam.

Mengakhiri kekagumanku, aku melangkahkan kakiku dengan mantap. Belok kiri, lalu kanan, kiri dan kiri lagi, kanan. Aku berdecak, bersyukur masih mengingat tempat ini dengan jelas walaupun sudah banyak hal-hal telah yang berubah. Tempat ini terasa lebih terang dan hidup daripada sebelumnya. Aku berjalan menyeruak diantara kerumunan para clown-clown muda, tidak ingin terlihat mencolok di jalanan yang ditutupi konblok ini dengan balutan jubah gipsyku.

“Halvar! Halvar Fathius! Hei, pemuda gipsy yang disana! Kau kah itu, Halvar Fathius?” teriak sayup-sayup seseorang dibelakangku.

Pura-pura tidak mendengar, aku mempercepat jalanku. Kiri, kiri, kanan, kanan. Aku merasakan debar jantungku berpacu seirama dengan gerakan kakiku. Armor yang kupakai bergemerincing merdu beradu dengan perisaiku. Setelah merasa cukup jauh, aku berhenti *****ang lututku terengah-engah. Menoleh kebelakang dengan mata dipicingkan, takut jika orang yang memanggilku tadi mengejarku. Sial, ternyata setelah sekian lama, masih ada juga orang yang mengenaliku. Bahkan ketika aku menggunakan jubah gipsy!

Aku menggeleng, mencuri pandang kearah belakang sekali lagi dan membulatkan tekad untuk melanjutkan perjalanan. Tetapi niat itu seketika sirna ketika aku melihat bangunan yang berdiri tegak di hadapanku. Aku tidak pernah melihat bangunan ini sebelumnya. Dimana aku? Apakah aku tersesat?

Aku mencengkeram Spike Sword yang kusandang di pinggul kiriku. Membalikkan badan dan berusaha mengingat-ingat rute yang baru saja kutempuh. Sial, sial, sial. Seandainya orang itu tadi tidak mengenaliku, aku tidak akan berlari seperti maling dan tidak akan pernah tersesat.

Aku terus mengutuk dengan langkah gontai, kemudian menyadari bahwa menyumpahi orang bukanlah tindakan yang tepat untuk diambil dalam kondisi seperti ini. Ha! Apa yang aku pikirkan? Berpisah dengan para gipsy lama-lama membuatku berpikir pendek. Tersesat tentu saja bukanlah masalah yang berat untuk seorang gipsy. Kami lebih sering tersesat dibandingkan orang biasa lainnya.

Aku menarik tudung jubah gipsyku, mengantisipasi agar orang lain tidak dapat melihat wajahku lagi. Setelah memastikan bahwa tudung itu cukup rapat, aku memulai perjalanan lagi dari awal. Kemana tadi aku berbelok? Kiri? Kanan? Mengapa aku tidak tanya orang asing saja, toh mereka tidak mengenalku jadi tetap aman. Ah, tidak, tidak, risikonya sangat besar. Aku tidak mau mengulangi kesalahanku lagi seperti saat berada di Zaid. Di saat yang sama, dua clown muda melintas di hadapanku. Mereka bercakap-cakap keras sekali dan aku mendengar pembicaraannya.

“Ya, hari ini pertunjukan perdanaku. Aku akan menunjukkan segenap bakatku kepada seluruh warga Madelin.”

“Aku pasti akan menontonnya. Dimana kau akan menampilkannya?”

“Panggung Madelin tentu saja. Gedung Pertunjukan di pojok kota.”

“Wah, di panggung? Kau sangat berbakat sekali. Tidak semua clown bisa tampil disana.”

“Aku akan kesana sekarang untuk berlatih. Mungkin kau bisa melihatnya dan mengomentari?”

“Boleh juga. Ayo kita kesana.”

Aku terperangah. Panggung Madelin? Kalau tidak salah, itu dekat tempat yang kutuju. Aku mengikutinya layaknya macan yang kelaparan. Hanya mereka satu-satunya harapanku untuk kembali pada jalan yang benar.

Beberapa saat kemudian, aku sampai di ruangan terbuka yang luas. Puluhan kursi kayu panjang berderet-beret di depan sebuah panggung yang megah. Tiga jester sedang menyapu membersihkan panggung dan dua clown yang kuuntit tadi naik ke atas panggung. Kalau tidak salah, beberapa meter dari kursi-kursi ini. Aku menimbang-nimbang ingatanku yang sudah mulai pudar. Aku berdiri berpijak pada salah satu kursi yang paling tinggi, melancarkan pandangan ke seluruh lapangan itu. Ah, itu dia! Berbeda sekali dengan sebelumnya. Tapi, patut dicoba. Semoga keberuntungan kali ini bersamaku.

Aku berjalan merayap agar tidak ada orang lain yang tidak sengaja menyahutku. Aku memposisikan diriku di balik sebuah tenda. Aku menengadah keatas. Tenda itu berwarna kuning terang. Hiasan-hiasan berbentuk kotak wajik bertaburan di sekeliling atapnya. Seorang bocah bertopi biru berdiri melambai-lambaikan tangannya di depan pintu tenda. Siapakah bocah itu? Apakah dia seorang penjaga? Mengapa seorang bocah dipekerjakan untuk menjaga pintu? Aku menghampirinya.

“Permisi, aku ingin bertemu dengan Shina. Apakah dia ada di dalam?”

“Berikan aku sebatang emas, Sir, maka aku akan mengizinkanmu lewat.”

Sial, sejak kapan Shina meminta bayaran seperti ini, pemerasan. Aku tidak mempunyai emas, tapi aku tidak punya waktu lagi untuk mencarinya. Aku berpikir sejenak, “Bagaimana dengan dua buah perak ditambah satu Aleph’s Crystal? Benda sihir ini cukup langka.”

“Lebih baik anda tukarkanlah benda-benda itu di bar sebelah dengan sebatang emas lalu berikanlah padaku.”

Bah! Anak ini menyebalkan sekali! Dengan menggerutu, aku berpaling pergi dari hadapan bocah itu dan berjalan kearah bar yang letaknya tidak sampai dua meter di belakang rumah Shina. Aku memasuki tempat itu dan terkejut mendapati ada akrobat-akrobat yang ditampilkan di dalam ruangan sekecil itu. Seorang penjaga bar menyapaku, “Mari, Sir! Silahkan masuk! Selamat datang!”

Ia menuntunku duduk di kursi yang telah disediakan, “Apa yang ingin anda pesan, Sir?”

“Bisakah aku menukar dua buah perak dan Aleph’s Crystal dengan sebatang emas?”

“Saya khawatir saya tidak bisa, Sir. Maafkan saya. Semua emas yang saya punya telah ditukarkan dengan gentong-gentong bir segar dari Hutan Herkaus.”

“Kalau begitu terima kasih,” ujarku beranjak dari tempat dudukku yang empuk.

Laki-laki ramah itu melebarkan tangannya, menahanku. “Apakah anda tidak ingin menyempatkan diri untuk minum, Sir? Saya jamin bir saya tidak akan mengecewakan anda,” tawar penjaga bar itu.

“Tidak. Aku sedang terburu-buru. Aku hanya membutuhkan sebatang emas untuk saat ini.”

“Apakah emas itu digunakan untuk membayar Lady Shina, Sir?”

Aku mengangguk membenarkan pertanyaannya.

“Ah, ya, tentu saja. Haha. Dia tidak menerima logam lain selain emas,” tawanya dengan geli, “Nathan bocah yang pintar, Lady Shina telah mendidiknya dengan sukses. Kalau begitu, senang bisa membantu anda, Sir.”

Kemudian aku bergegas pergi meninggalkan bar itu. Entah dimana aku bisa mendapatkan emas. Aku sangat menyesal menukarkan semua emasku dengan beberapa perak dan sebatang roti. Tiba-tiba, ada yang menepuk punggungku dengan keras. Aku memutar tubuhku dan menemukan bocah penjaga tenda Shina tadi yang melakukannya.

“Sir, Lady Shina bilang dia ingin melihat Aleph’s Crystal yang anda miliki,” kata Nathan.

“Benarkah? Senang mendengarnya,” sahutku tidak percaya, “Apakah itu artinya aku boleh masuk?”

“Ya, tentu saja.”

Aku merogoh dua buah perak dari sakuku dan menyodorkannya kepadanya. Nathan menepis tanganku, “Tidak. Lady Shina berkata simpan saja perak-perakmu itu. Dia hanya menginginkan kristal biru itu.”

“Sungguh baik hati sekali.”

Nathan member isyarat kepadaku untuk masuk, “Silahkan.”

Aku menginjakkan kakiku ragu-ragu. Sepatuku berderit menyentuh lantai yang licin. Langit-langit tenda digantikan oleh ilusi jagat raya. Melihat kearah manapun, langit-langit itu tampak tak berujung. Ruangan itu sangat gelap, hanya bintang-bintang yang gemerlapan menjadi penerangnya. Di ujung ruangan, terdapat sebuah kursi. Disana, duduklah seorang wanita cantik berambut pirang. Gaun satin putih gading berbordir biru yang dikenakannya sangat kontras dengan warna kulitnya yang pucat. Bola kristal sihir berpendar lemah dipangkuannya. Sementara itu, tepat dibelakangnya, peri-peri hutan peliharaannya menjaganya dengan seksama.

“Halvar Fathius, lama tidak bertemu. Ada angin apa yang membawamu kemari menemuiku?” tanya Shina dengan suara semerdu kicauan burung.

“Tidak usah berbasa-basi lagi, Shina. Aku tahu kau bisa membaca pikiranku,” tukasku.

“Wow, kau sama sekali tidak berubah, Halvar. Pemarah dan selalu terburu-buru. Sifatmu inilah yang paling kusuka darimu,” godanya.

Aku meletakkan secarik kertas lusuh di hadapannya, “Aku tidak punya banyak waktu. Kau tahu siapa pemilik kertas ini?”
Lady itu terus menatapku tanpa mengacuhkan kertas yang kuberikan tadi.

“Darimana kau mendapatkan ini, Halvar?”

Kali ini suaranya terdengar sangat serius. Tidak ada lagi bayangan kicauan burung yang terlintas saat mendengarnya.
“Zaid,” tuturku, menaikkan sebelah alisku.

“Secara keberuntungan, atas inisiatif sendiri atau atas petunjuk dari orang lain?”

Aku memutar bola mataku, “Kau tidak perlu tahu, Shina. Itu bukan urusanmu.”

“Karena kau meminta bantuanku, Halvar, maka ada baiknya jika kau menjawab pertanyaanku.”

Badanku bergetar menahan amarah, “Atas petunjuk dari orang lain dan inisiatifku. Dia mengatakan bahwa kertas itu berada di Zaid, tetapi dia tidak mengetahui letaknya secara pasti. Jadi aku harus mencarinya sendiri.”

Senyum penuh kemenangan terukir di wajah Shina, “Kalau begitu, aku akan melakukan hal yang sama. Aku memberikanmu sedikit pencerahan dan kau harus mencari sisanya. Berikan Aleph’s Crystal milikmu. Aku akan *****ahkannya dan kau bisa melihat masa lalumu sendiri. Semua petunjuk telah diberikan oleh kedua orang tuamu, tapi kau tidak memperhatikannya dengan seksama. Jika kau datang kepadaku, keputusanmu kali ini salah karena aku tidak bisa memberitahumu apa-apa.”

Aku menurutinya, mengulurkan kristal itu dan peramal itu melumatkannya hanya dengan sekali gerakan. Asap membubung tinggi dan segera memenuhi ruangan. Samar-samar terbentuk bayangan sebuah ruangan yang sangat kukenal di udara.


Aku terbaring lemah diatas kasur jerami yang berantakan. Selimut tipis tua terbentang menyelimuti badanku yang tidak berdaya. Wajahku pucat sekali. Sekujur tubuhku memerah. Aku bergerak-gerak gelisah. Mimpi yang sangat buruk membangunkanku dari tidurku yang panjang. Mataku terbelalak, keringat dingin jatuh membasahi bajuku. Tanganku menggapai-gapai lonceng kecil yang disediakan ayah untukku disamping meja reyot kesayanganku. Aku menggerakkannya pelan berkali-kali, berharap ada yang mendengar suara berisik lonceng itu dan datang untuk menenangkanku. Tidak lama setelah itu, muncul sosok mungil berdiri di ambang pintu tenda.

“Ibu?”

“Halvar!” seru perempuan itu menghambur kearahku. Ia meraih tanganku dan menyentuh dahiku, “Panas sekali! Oh anakku, maafkan ibu, Halvar. Seharusnya ibu tidak berlama-lama di Zaid. Bagaimana perasaanmu, Nak?”

“Lebih baik dari kemarin,” jawabku dengan senyum yang dipaksakan.

“Kau pasti menderita sekali.”

Aku mengelus pipi ibuku yang dingin. Rasa rindu yang amat besar membuncah di dadaku. Lalu, kelambu abu-abu yang dijadikan pembatas ruangan tenda tersibak.

“Biarkan dia beristirahat sejenak, Celine. Sudah dua hari dia tidak tidur,” dengus pria yang mengangkat kain itu.

Ibu mengendikkan kepalanya, “Ivor.”

“Ah, ayah. Tidak apa-apa. Ibu menghampiriku setelah aku membunyikan lonceng itu. Lagipula, ibu tidak menggangguku sama sekali kok.”

Ibu mengacak- acak rambutku yang berantakan, “Tidak sayang, ayahmu benar. Kau harus istirahat.”

Aku menguap lebar sekali. Rasa letih menerpa kedalam tulang-tulang rusukku.

“Ya. Selamat malam, Ibu,” ucapku malas-malasan.

Wanita itu mengecup dahiku sekali dan merapikan selimutku. Kursi yang diduduki ibu berderit yang menandakan bahwa ibu berdiri dari tempat duduknya.

“Bagaimana? Apa kau menemukan sesuatu?” tanya ayah.

“Tidak, sama sekali tidak ada perkembangan. Begitu sulitnya mencari sesuatu jika kau harus tetap bersembunyi. Aku tidak bebas bergerak, Ivor. Informasi yang kudapatkan sangat sedikit. Jika…”

Ceritanya terputus, ibu menoleh kearahku yang setengah terlelap, “Jika kita tidak harus bersembunyi, jika kita bertanya pada orang-orang yang tidak kita hindari. Mungkin saja…”

“Tidak, tentu saja tidak, Celine,” potong ayahku, “Mereka dapat menebak alasan kepergian kita dari kastil.”

“Apalah gunanya jika tidak ada perkembangan seperti ini? Di dalam kastil ataupun diluar sekalipun, sama saja bukan? Jadi untuk apa kita menempuh semua risiko ini?”

Semua perdebatan mereka menjadi lagu nina bobo untukku. Sesaat, tidak ada yang berbicara lagi satu sama lain. Aku membuka sebelah mataku dan melihat mereka masih disana, berdiam diri tenggelam dalam pikiran masing-masing.

“Seseorang pernah menyebut-nyebut tentang Ujung Dunia dan seorang penyihir,” lanjut ayahku.

“Kau ingin aku mencarinya kesana? Tidak akan. Tempat itu seperti neraka yang dikutuk menjadi dingin. Aku tidak sanggup pergi ke Ujung Dunia sendirian, sama halnya dengan kau. Setidaknya dibutuhkan seorang teman perjalanan untuk menemaniku mencarinya, apalagi jika mencari seorang penyihir. Dan kita tidak bisa meninggalkan anak-anak kita sendirian, Ivor. Atau kita bisa memberitahu seseorang dan mengajaknya bekerja sama?”

“Tidak. Tidak, Celine. Yang satu itu tidak akan pernah akan kita lakukan,” gumam pria itu. Ia mengetukkan jari-jarinya ke meja, “Bagaimana dengan sebuah nama? Para craftsman juga menyebut-nyebut tentang sebuah nama.”

“Aku bertemu dengan si Ahli Pembuat Nama dan dia hanya melantunkan nama-nama yang terdengar konyol di pikiranku.”

Ivor memijit-mijit pelipisnya, “Mungkin ada yang terlewatkan oleh kita sehingga Ahli Pembuat Nama tidak ingin rahasianya diketahui. Lalu, apakah kau sudah mencarinya di perpustakaan Elim dan Lime tentang nama-nama?”

“Semua, semua, Ivor. Dan hasilnya nihil. Hanya satu yang kutahu, nama itu berada di Zaid.”

“Zaid? Jika nama itu berada di Zaid, mengapa kita tidak bisa menemukannya? Aku yakin pasti tersembunyi di suatu tempat yang tidak kita pikirkan sebelumnya. Dan aku juga yakin pasti Ahli Pembuat Nama mengetahui semua ini. Kita hanya perlu mencari bagaimana cara untuk membuka mulut pemuda itu. Hanya itu, Celine.”

Ibuku mendengus kesal. Dia membisikkan suatu kata yang tidak dapat tertangkap oleh telingaku. Dan ayah menanggapinya, “Jangan kau paksakan. Biar aku yang menggantikan pencarianmu sampai bayi manis kita lahir.”


Bayangan-bayangan di udara itu mulai menipis dan akhirnya menghilang. Shina menunggu jawaban dariku. Pandangan matanya tidak luput dari wajahku. Ia memberikan kesempatan padaku untuk merenung, mencerna semua memori lamaku yang dihadirkan kembali. Aku tertegun, matanya berkilat saat aku menyadari makna yang tersirat.
“Terima kasih, Shina. Aku tahu apa yang harus aku lakukan.”

Lanjut ke chapter 4 : Nora Valiria

Seal Online Fanfiction by milkteddy © 2009
Fanfiction Heart of Sword SUMBER
.
Share this article :