Fanfiction SEAL Online (Heart of Sword) Chapter 7: Perburuan Dimulai
Home »
Cerpen
,
Fanfiction SEAL Online
,
seal online
,
Serba-serbi
» Fanfiction SEAL Online (Heart of Sword) Chapter 7: Perburuan Dimulai
Cerita ini di adaptasi dari Seal Online yang berlatar belakang dunia Shiltz.
Chapter 7: Perburuan Dimulai
“Bangunan itu adalah rumah Olsen. Ia tinggal menetap di Asosiasi Blacksmith,” jelas Vyriel seraya
menunjuk sebuah bangunan bundar yang terbuat dari besi.
Aku mendongak, menyipitkan mataku, “Apa semua bangunan di kota Zaid berbentuk seperti ini?”
Nora dan Caleb tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaanku yang begitu saja terlontar dari
mulutku. Vyriel mendorongku, “Cepatlah! Kami akan menunggu disini.”
Aku memandangnya garang, melotot kepadanya. Kemudian aku melangkah ragu-ragu. Apa yang harus aku
katakan? Bagaimana jika aku tidak berhasil?
Aku menghampiri seorang anak kecil berbaju jingga. Sebuah pita ungu manis tersemat di rambutnya.
“Halo. Apakah aku mengganggumu? Bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?” tanyaku pelan.
“Apa yang ingin kau tanyakan, orang asing?” jawabnya hati-hati.
Aku merogoh secarik kertas dari sakuku. Diatasnya tercetak gambar kakakku yang telah memudar,
“Apakah kau pernah melihat orang ini beberapa hari ini?”
Anak itu berpikir sejenak, “Tidak. Mungkin kau bisa bertanya kepada ayahku.”
“Dimana ayahmu?”
“Kau lihat pria tua itu? Dia adalah ayahku. Namanya Olsen,” katanya.
“Terima kasih…” aku tidak menyelesaikan ucapanku karena tidak mengetahui namanya.
“May. Namaku May,” tambahnya.
“Terima kasih, May,” ulangku, berlalu pergi menuju pria tua yang disarankannya tadi.
Aku menoleh kearah panggung Zaid yang letaknya tidak jauh dariku, berharap teman-temanku akan
menyokongku. Tetapi mereka hanya mengangkat tangan untuk memberikan dukungan bagiku. Aku meringis
samar lantas mendekati pria tua itu. Suara denting palunya yang bertumbukan dengan logam panas
terdengar hingga seberang Zaid.
“Permisi, apakah aku mengganggumu, Tuan?”
Olsen menggerutu tanpa memperdulikanku. Aku mengulangi pertanyaanku, “Maaf jika aku mengganggumu.
Aku hanya ingin bertanya sedikit. Hanya sedikit saja.”
“Jika kau datang padaku hanya untuk mengeluh tentang Cane, maka aku tidak akan berbicara denganmu.
Aku sudah muak berulang kali meminta maaf tentang kelakuan Cane,” tukasnya sedikit membentak.
Aku buru-buru menyelanya, “Tidak. Aku tidak akan bertanya ataupun mengeluh tentang Cane. Aku bahkan
tidak mengenal Cane. Aku hanya ingin bertanya apakah Anda mengenal pria ini.”
Aku mengulurkan kertas itu. Alih-alih ia menyambut tanganku, ia bahkan tidak mengalihkan matanya
dari palunya.
“Apa kau tidak bisa melihat aku sedang bekerja? Mengapa tidak kau menceritakan saja detailnya
kepadaku?” sungutnya.
“Ah! Maafkan aku,” sesalku, “Apakah akhir-akhir ini kau melihat seorang pria dengan balutan jubah
gipsy berkeliaran di Zaid? Ia mengenakan Ultimate Armor dibalik jubahnya. Ia membawa Spike Sword dan
perisainya kemanapun ia pergi.”
Pria itu menggumamkan sesuatu yang tidak dapat kudengar.
“Maaf, Tuan?”
“Aku melihatnya berbicara dengan anakku beberapa hari yang lalu. Aku sudah menduga bahwa pria itu
bermasalah dengan anakku. Ternyata memang benar, sampai-sampai ia mengirim temannya hari ini untuk
menggangguku. Aku tidak tahu mengapa ia berteman dengan gipsy tetapi wajar memang jika dia berteman
dengan salah satu dari kalian. Tidak ada orang di Zaid yang ingin berteman dengannya,” cerocos
Olsen.
“Maksud anda May?”
Craftsman itu menggeram, “Tentu saja Cane, orang asing! Tidak mungkin May berteman dengan gipsy.
Pikirannya waras. Tidak seperti kakaknya. Pergilah! Aku sudah mengatakan apa yang ingin kau
tanyakan. Aku ingin melanjutkan pekerjaanku dengan tenang.”
Aku mengangguk dan meninggalkan tempat itu tanpa mengucapkan sepatah kata apapun. Vyriel, Nora dan
Caleb menyambutku diatas panggung.
“Bagaimana?” tanya Nora dan Caleb serempak.
“May menyuruhku bertanya kepada Olsen dan Olsen mengaku ia melihat Halvar,” laporku.
Caleb menyentakkan kakinya ke kayu yang keras dibawahnya, “Aku tahu bahwa Olsen membohongiku. Aku
tidak percaya ia tega berbuat begitu.”
Nora mengelus punggung Caleb, “Mungkin Olsen ingin melindungi anaknya. Ia mungkin mengira kau akan
mencelakai Cane jika Cane tidak memberitahu tentang Halvar.”
“Bah! Tidak mungkin orang tua itu ingin melindungi Cane,” bantah Caleb.
“Sudahlah, Caleb. Jika kau terus ribut saja, kau akan menarik perhatian,” bujuk Vyriel. Ia
mencondongkan tubuhnya kearahku, “Jadi, sekarang kau akan bertanya kepada Cane?”
“Yeah. Tapi aku tidak tahu yang mana orangnya,” keluhku.
“Aku akan menemanimu,” tawar warrior itu.
Nora memutar bola matanya, “Tidak mungkin, Vyriel. Cane orangnya sangat berhati-hati. Ia akan
mencurigai kau bersama seorang gipsy yang mencari gipsy lainnya.”
“Tapi kau tahu bagaimana Cane,” desisnya, “Ia sangat kasar dan pemarah. Aku harus memastikan bahwa
Kana mendapatkan penggalan informasi untuk petunjuk berikutnya. Kana tidak akan memiliki kesempatan
bertanya kepada Cane untuk kedua kalinya.”
Caleb menyetujui, “Kau benar, Vyriel.”
“Apa yang akan kau katakan nanti, Vyriel? Tentangku dan hubunganmu dengan Halvar,” potongku.
“Aku akan mengatakan bahwa aku mempunyai hutang budi padamu dan aku menyetujui untuk menemanimu
mencari kakakmu,” tutur sepupuku itu.
Nora tergelak, “Bersiaplah kau akan ditertawakan, Vyriel. Cane akan menyebarkannya ke seluruh
penjuru Zaid.”
“Tidak ada yang akan mempercayai Cane,” timpal Vyriel.
“Mungkin tidak akan ada yang mempercayai omongan Cane. Tetapi harga dirimu akan turun didepannya,
Vyriel. Dan aku yakin Cane tidak akan melupakannya selama bertahun-tahun kedepannya,” sindir Nora.
“Seburuk itukah para gipsy di kalangan penduduk kota?” protesku.
“Tidak terlalu buruk,” dusta Caleb, tersenyum.
Vyriel mengerutkan alisnya, bimbang, “Well, ada saran?”
Nora mencoba membantu Vyriel, “Bagaimana jika Kana merengek-rengek ingin ditemani olehmu?”
“Tidak,”
“Kau mempunyai hutang kepada Kana?”
“Tidak,”
“Halvar mempunyai hutang kepadamu?”
“Tidak,”
“Halvar tidak sengaja membawa sesuatu milik Kana yang faktanya adalah benda itu adalah milikmu?”
“Sempurna,” puji Vyriel. Ia menggapai lenganku, “Baiklah. Kita harus bergegas.”
Aku memberingsut, menjauh darinya, “Jangan terlalu dekat denganku. Sepertinya lebih baik jika ia
mengira kita tidak saling mengenal,”
“Ide yang bagus,”
Aku melangkah gontai mengikuti Vyriel, menjaga jarak sejauh mungkin darinya. Aku menunduk dan
memasang tudung gipsyku. Aku bisa melihat Vyriel sangat tegang. Entah apa yang sedang dipikirkannya
hingga bulu kuduknya meremang semua.
“Halo, Cane,” sapa Vyriel memberanikan diri.
Cane melonjak kaget, “Vyriel Lerevient! Sudah lama sekali sejak kau terakhir kali berbicara
denganku.”
“Yap. Mungkin sekitar lima tahun?”
“Tujuh tahun,” koreksinya.
“Hahaha. Pantas perbincangan kita kali ini terasa canggung,"
"Jelas. Mana ada orang normal yang merasa nyaman ketika berbicara dengan orang yang dibencinya?"
"Haha. Kalau begitu ini waktu yang tepat sekali bukan?”
Cane bersandar pada dinding, tangannya disilangkan diatas dadanya, “Tidak usah berbasa-basi lagi,
Vyriel. Aku yakin kau kemari karena ada maksud dan tujuan tertentu. Aku tidak mempunyai banyak waktu
untuk meladenimu.”
Vyriel melambaikan tangannya, “Santai, Cane. Aku hanya ingin bersikap sopan santun sebagaimana
mestinya. Aku kemari hanya ingin menanyakan sesuatu. Tidak bermaksud berlama-lama menghabiskan
banyak waktu berbincang denganmu.”
“Aku ragu aku akan memberitahumu jika aku mengetahuinya,” sangsinya.
“Ah, sebenarnya bukan aku yang ingin bertanya, tapi perempuan ini,”
Vyriel bergeser kesamping dan aku menyibakkan tudung jubah gipsyku.
“Dia? Apa-apaan ini,”
Aku memperkenalkan diriku, “Ya. Aku Kana Shevaunt. Jika aku tidak mengganggumu, aku ingin bertanya."
Badan Cane bergetar tidak sabar, "Kana Shevaunt, kalau kau berpikir membawa warrior ini ke hadapanku
agar kau bisa mendapatkan jawabanku, maka kau melakukan kesalahan yang sangat besar."
"Ah, jangan begitu, Cane. Dia tidak mengerti apa-apa tentang hubungan kita. Jangan kau memperumit
masalahnya," bujuk Vyriel.
"Bah! Memangnya siapa perempuan ini sampai-sampai aku tidak boleh memperumitnya," gertak Cane.
Sepupuku itu hendak mengatakan sesuatu tetapi aku menahannya, "Maafkan aku, Cane. Ayahmu, Tuan
Olsen, mengatakan bahwa kau mengetahui sesuatu dan mungkin aku bisa menanyakannya kepadamu."
"Ayahku? Ha! Katakan saja! Semakin cepat kau bertanya, semakin cepat aku menjawabnya dan semakin
cepat kalian enyah dariku,"
Aku bergidik, "Apakah kau melihat kakakku, Halvar, berjalan-jalan di Zaid beberapa hari yang lalu?”
Cane tergagap, “Ha… Halvar? Apakah dia seorang knight yang menggunakan jubah gipsy?”
Suaraku meninggi karena semangat, “Ya! Apa kau pernah melihatnya?”
Cane melirik jubah gipsy yang kukenakan, baru saja menyadarinya, “Ya. Beberapa hari yang lalu. Ada
urusan apa kau menanyakan dirinya?”
“Aku adalah adiknya. Aku ingin mencari kakakku,” rengekku.
Kecurigaan memancar dari mata Cane, “Jika kau adalah adiknya, tentu pasti kau tahu dimana dirinya
berada.”
Aku pura-pura terisak, “Tidak. Ia sudah lama meninggalkanku dan hingga kini aku tidak tahu
kabarnya.”
“Bah! Lucu sekali. Adiknya saja tidak tahu apalagi aku? Sudah kubilang kalau aku tidak dapat
memberimu banyak informasi, tetapi kemarin aku memintanya pergi ke tambang tertutup,”
“Tambang tertutup? Mengapa kau memintanya kesana?” tanyaku.
“Hanya orang yang berani saja yang kuminta pergi kesana. Dan dia menyetujuinya,” jelasnya, “Apakah
kau mau juga pergi kesana untuk menguji keberanianmu?”
“Aku akan pergi kesana untuk mencari kakakku, bukan untuk menguji keberanianku,” tegasku, “Dimana
letak tambang tertutup itu?”
“Di sebelah selatan tambang, ada pintu yang tidak pernah digunakan lagi. Kupikir kau bisa bertanya
kepada Vyriel. Dia sangat mengetahui seluk beluk kota ini. Bukan begitu, Vyriel?” ejek Cane,
menyeringai.
Warrior itu membungkuk hormat, “Tentu saja aku tahu. Aku akan mengantarmu kesana, Nona Kana.”
“Oh! Kebaikanmu suatu hari nanti akan kubalas, Tuan Vyriel,” janjiku asal-asalan.
Vyriel mengendikkan kepalanya, tanda sudah saatnya mengakhiri pembicaraan.
“Terima kasih, Cane. Terima kasih sekali,” kataku.
“Kalau begitu, pergilah sekarang jauh-jauh dari hadapanku,”
“Sampai jumpa di lain waktu, Cane,” lanjut sepupuku.
Vyriel melenggang pergi dan aku mengekor di belakangnya. Cane meneriakkan sesuatu, “Vyriel! Tidak
kusangka kau adalah bangsawan yang sangat murah hati. Tidak kusangka kau mau membantu seorang gipsy
yang tersesat.”
Sebuah senyuman kemenangan terukir di wajah Vyriel, “Terima kasih atas pujianmu, Cane. Kuharap aku
bisa menjadi teladan bagimu.”
Lanjut ke chapter 8 : Tambang Tertutup
Seal Online Fanfiction by milkteddy © 2009
Fanfiction Heart of Sword SUMBER
.
Chapter 7: Perburuan Dimulai
“Bangunan itu adalah rumah Olsen. Ia tinggal menetap di Asosiasi Blacksmith,” jelas Vyriel seraya
menunjuk sebuah bangunan bundar yang terbuat dari besi.
Aku mendongak, menyipitkan mataku, “Apa semua bangunan di kota Zaid berbentuk seperti ini?”
Nora dan Caleb tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaanku yang begitu saja terlontar dari
mulutku. Vyriel mendorongku, “Cepatlah! Kami akan menunggu disini.”
Aku memandangnya garang, melotot kepadanya. Kemudian aku melangkah ragu-ragu. Apa yang harus aku
katakan? Bagaimana jika aku tidak berhasil?
Aku menghampiri seorang anak kecil berbaju jingga. Sebuah pita ungu manis tersemat di rambutnya.
“Halo. Apakah aku mengganggumu? Bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?” tanyaku pelan.
“Apa yang ingin kau tanyakan, orang asing?” jawabnya hati-hati.
Aku merogoh secarik kertas dari sakuku. Diatasnya tercetak gambar kakakku yang telah memudar,
“Apakah kau pernah melihat orang ini beberapa hari ini?”
Anak itu berpikir sejenak, “Tidak. Mungkin kau bisa bertanya kepada ayahku.”
“Dimana ayahmu?”
“Kau lihat pria tua itu? Dia adalah ayahku. Namanya Olsen,” katanya.
“Terima kasih…” aku tidak menyelesaikan ucapanku karena tidak mengetahui namanya.
“May. Namaku May,” tambahnya.
“Terima kasih, May,” ulangku, berlalu pergi menuju pria tua yang disarankannya tadi.
Aku menoleh kearah panggung Zaid yang letaknya tidak jauh dariku, berharap teman-temanku akan
menyokongku. Tetapi mereka hanya mengangkat tangan untuk memberikan dukungan bagiku. Aku meringis
samar lantas mendekati pria tua itu. Suara denting palunya yang bertumbukan dengan logam panas
terdengar hingga seberang Zaid.
“Permisi, apakah aku mengganggumu, Tuan?”
Olsen menggerutu tanpa memperdulikanku. Aku mengulangi pertanyaanku, “Maaf jika aku mengganggumu.
Aku hanya ingin bertanya sedikit. Hanya sedikit saja.”
“Jika kau datang padaku hanya untuk mengeluh tentang Cane, maka aku tidak akan berbicara denganmu.
Aku sudah muak berulang kali meminta maaf tentang kelakuan Cane,” tukasnya sedikit membentak.
Aku buru-buru menyelanya, “Tidak. Aku tidak akan bertanya ataupun mengeluh tentang Cane. Aku bahkan
tidak mengenal Cane. Aku hanya ingin bertanya apakah Anda mengenal pria ini.”
Aku mengulurkan kertas itu. Alih-alih ia menyambut tanganku, ia bahkan tidak mengalihkan matanya
dari palunya.
“Apa kau tidak bisa melihat aku sedang bekerja? Mengapa tidak kau menceritakan saja detailnya
kepadaku?” sungutnya.
“Ah! Maafkan aku,” sesalku, “Apakah akhir-akhir ini kau melihat seorang pria dengan balutan jubah
gipsy berkeliaran di Zaid? Ia mengenakan Ultimate Armor dibalik jubahnya. Ia membawa Spike Sword dan
perisainya kemanapun ia pergi.”
Pria itu menggumamkan sesuatu yang tidak dapat kudengar.
“Maaf, Tuan?”
“Aku melihatnya berbicara dengan anakku beberapa hari yang lalu. Aku sudah menduga bahwa pria itu
bermasalah dengan anakku. Ternyata memang benar, sampai-sampai ia mengirim temannya hari ini untuk
menggangguku. Aku tidak tahu mengapa ia berteman dengan gipsy tetapi wajar memang jika dia berteman
dengan salah satu dari kalian. Tidak ada orang di Zaid yang ingin berteman dengannya,” cerocos
Olsen.
“Maksud anda May?”
Craftsman itu menggeram, “Tentu saja Cane, orang asing! Tidak mungkin May berteman dengan gipsy.
Pikirannya waras. Tidak seperti kakaknya. Pergilah! Aku sudah mengatakan apa yang ingin kau
tanyakan. Aku ingin melanjutkan pekerjaanku dengan tenang.”
Aku mengangguk dan meninggalkan tempat itu tanpa mengucapkan sepatah kata apapun. Vyriel, Nora dan
Caleb menyambutku diatas panggung.
“Bagaimana?” tanya Nora dan Caleb serempak.
“May menyuruhku bertanya kepada Olsen dan Olsen mengaku ia melihat Halvar,” laporku.
Caleb menyentakkan kakinya ke kayu yang keras dibawahnya, “Aku tahu bahwa Olsen membohongiku. Aku
tidak percaya ia tega berbuat begitu.”
Nora mengelus punggung Caleb, “Mungkin Olsen ingin melindungi anaknya. Ia mungkin mengira kau akan
mencelakai Cane jika Cane tidak memberitahu tentang Halvar.”
“Bah! Tidak mungkin orang tua itu ingin melindungi Cane,” bantah Caleb.
“Sudahlah, Caleb. Jika kau terus ribut saja, kau akan menarik perhatian,” bujuk Vyriel. Ia
mencondongkan tubuhnya kearahku, “Jadi, sekarang kau akan bertanya kepada Cane?”
“Yeah. Tapi aku tidak tahu yang mana orangnya,” keluhku.
“Aku akan menemanimu,” tawar warrior itu.
Nora memutar bola matanya, “Tidak mungkin, Vyriel. Cane orangnya sangat berhati-hati. Ia akan
mencurigai kau bersama seorang gipsy yang mencari gipsy lainnya.”
“Tapi kau tahu bagaimana Cane,” desisnya, “Ia sangat kasar dan pemarah. Aku harus memastikan bahwa
Kana mendapatkan penggalan informasi untuk petunjuk berikutnya. Kana tidak akan memiliki kesempatan
bertanya kepada Cane untuk kedua kalinya.”
Caleb menyetujui, “Kau benar, Vyriel.”
“Apa yang akan kau katakan nanti, Vyriel? Tentangku dan hubunganmu dengan Halvar,” potongku.
“Aku akan mengatakan bahwa aku mempunyai hutang budi padamu dan aku menyetujui untuk menemanimu
mencari kakakmu,” tutur sepupuku itu.
Nora tergelak, “Bersiaplah kau akan ditertawakan, Vyriel. Cane akan menyebarkannya ke seluruh
penjuru Zaid.”
“Tidak ada yang akan mempercayai Cane,” timpal Vyriel.
“Mungkin tidak akan ada yang mempercayai omongan Cane. Tetapi harga dirimu akan turun didepannya,
Vyriel. Dan aku yakin Cane tidak akan melupakannya selama bertahun-tahun kedepannya,” sindir Nora.
“Seburuk itukah para gipsy di kalangan penduduk kota?” protesku.
“Tidak terlalu buruk,” dusta Caleb, tersenyum.
Vyriel mengerutkan alisnya, bimbang, “Well, ada saran?”
Nora mencoba membantu Vyriel, “Bagaimana jika Kana merengek-rengek ingin ditemani olehmu?”
“Tidak,”
“Kau mempunyai hutang kepada Kana?”
“Tidak,”
“Halvar mempunyai hutang kepadamu?”
“Tidak,”
“Halvar tidak sengaja membawa sesuatu milik Kana yang faktanya adalah benda itu adalah milikmu?”
“Sempurna,” puji Vyriel. Ia menggapai lenganku, “Baiklah. Kita harus bergegas.”
Aku memberingsut, menjauh darinya, “Jangan terlalu dekat denganku. Sepertinya lebih baik jika ia
mengira kita tidak saling mengenal,”
“Ide yang bagus,”
Aku melangkah gontai mengikuti Vyriel, menjaga jarak sejauh mungkin darinya. Aku menunduk dan
memasang tudung gipsyku. Aku bisa melihat Vyriel sangat tegang. Entah apa yang sedang dipikirkannya
hingga bulu kuduknya meremang semua.
“Halo, Cane,” sapa Vyriel memberanikan diri.
Cane melonjak kaget, “Vyriel Lerevient! Sudah lama sekali sejak kau terakhir kali berbicara
denganku.”
“Yap. Mungkin sekitar lima tahun?”
“Tujuh tahun,” koreksinya.
“Hahaha. Pantas perbincangan kita kali ini terasa canggung,"
"Jelas. Mana ada orang normal yang merasa nyaman ketika berbicara dengan orang yang dibencinya?"
"Haha. Kalau begitu ini waktu yang tepat sekali bukan?”
Cane bersandar pada dinding, tangannya disilangkan diatas dadanya, “Tidak usah berbasa-basi lagi,
Vyriel. Aku yakin kau kemari karena ada maksud dan tujuan tertentu. Aku tidak mempunyai banyak waktu
untuk meladenimu.”
Vyriel melambaikan tangannya, “Santai, Cane. Aku hanya ingin bersikap sopan santun sebagaimana
mestinya. Aku kemari hanya ingin menanyakan sesuatu. Tidak bermaksud berlama-lama menghabiskan
banyak waktu berbincang denganmu.”
“Aku ragu aku akan memberitahumu jika aku mengetahuinya,” sangsinya.
“Ah, sebenarnya bukan aku yang ingin bertanya, tapi perempuan ini,”
Vyriel bergeser kesamping dan aku menyibakkan tudung jubah gipsyku.
“Dia? Apa-apaan ini,”
Aku memperkenalkan diriku, “Ya. Aku Kana Shevaunt. Jika aku tidak mengganggumu, aku ingin bertanya."
Badan Cane bergetar tidak sabar, "Kana Shevaunt, kalau kau berpikir membawa warrior ini ke hadapanku
agar kau bisa mendapatkan jawabanku, maka kau melakukan kesalahan yang sangat besar."
"Ah, jangan begitu, Cane. Dia tidak mengerti apa-apa tentang hubungan kita. Jangan kau memperumit
masalahnya," bujuk Vyriel.
"Bah! Memangnya siapa perempuan ini sampai-sampai aku tidak boleh memperumitnya," gertak Cane.
Sepupuku itu hendak mengatakan sesuatu tetapi aku menahannya, "Maafkan aku, Cane. Ayahmu, Tuan
Olsen, mengatakan bahwa kau mengetahui sesuatu dan mungkin aku bisa menanyakannya kepadamu."
"Ayahku? Ha! Katakan saja! Semakin cepat kau bertanya, semakin cepat aku menjawabnya dan semakin
cepat kalian enyah dariku,"
Aku bergidik, "Apakah kau melihat kakakku, Halvar, berjalan-jalan di Zaid beberapa hari yang lalu?”
Cane tergagap, “Ha… Halvar? Apakah dia seorang knight yang menggunakan jubah gipsy?”
Suaraku meninggi karena semangat, “Ya! Apa kau pernah melihatnya?”
Cane melirik jubah gipsy yang kukenakan, baru saja menyadarinya, “Ya. Beberapa hari yang lalu. Ada
urusan apa kau menanyakan dirinya?”
“Aku adalah adiknya. Aku ingin mencari kakakku,” rengekku.
Kecurigaan memancar dari mata Cane, “Jika kau adalah adiknya, tentu pasti kau tahu dimana dirinya
berada.”
Aku pura-pura terisak, “Tidak. Ia sudah lama meninggalkanku dan hingga kini aku tidak tahu
kabarnya.”
“Bah! Lucu sekali. Adiknya saja tidak tahu apalagi aku? Sudah kubilang kalau aku tidak dapat
memberimu banyak informasi, tetapi kemarin aku memintanya pergi ke tambang tertutup,”
“Tambang tertutup? Mengapa kau memintanya kesana?” tanyaku.
“Hanya orang yang berani saja yang kuminta pergi kesana. Dan dia menyetujuinya,” jelasnya, “Apakah
kau mau juga pergi kesana untuk menguji keberanianmu?”
“Aku akan pergi kesana untuk mencari kakakku, bukan untuk menguji keberanianku,” tegasku, “Dimana
letak tambang tertutup itu?”
“Di sebelah selatan tambang, ada pintu yang tidak pernah digunakan lagi. Kupikir kau bisa bertanya
kepada Vyriel. Dia sangat mengetahui seluk beluk kota ini. Bukan begitu, Vyriel?” ejek Cane,
menyeringai.
Warrior itu membungkuk hormat, “Tentu saja aku tahu. Aku akan mengantarmu kesana, Nona Kana.”
“Oh! Kebaikanmu suatu hari nanti akan kubalas, Tuan Vyriel,” janjiku asal-asalan.
Vyriel mengendikkan kepalanya, tanda sudah saatnya mengakhiri pembicaraan.
“Terima kasih, Cane. Terima kasih sekali,” kataku.
“Kalau begitu, pergilah sekarang jauh-jauh dari hadapanku,”
“Sampai jumpa di lain waktu, Cane,” lanjut sepupuku.
Vyriel melenggang pergi dan aku mengekor di belakangnya. Cane meneriakkan sesuatu, “Vyriel! Tidak
kusangka kau adalah bangsawan yang sangat murah hati. Tidak kusangka kau mau membantu seorang gipsy
yang tersesat.”
Sebuah senyuman kemenangan terukir di wajah Vyriel, “Terima kasih atas pujianmu, Cane. Kuharap aku
bisa menjadi teladan bagimu.”
Lanjut ke chapter 8 : Tambang Tertutup
Seal Online Fanfiction by milkteddy © 2009
Fanfiction Heart of Sword SUMBER
0 komentar:
Posting Komentar